Malam
itu aku terpaut di ruang tunggu stasiun, aku duduk pada sebuah bangku dengan
bantalan berwarna merah di sudut kanan pintu masuk peron. Seorang wanita
gelisah, earphone putih menempel di telinganya. Matanya terus tertuju pada layer
ponsel, sesekali aku bisa menangkap sorot matanya, seperti ada yang diambil dari
dalam diri, kantung matanya memerah, ada tangis yang baru saja mendiami sisi
itu. Wanita itu menatapku.
Aku
balas tersenyum, ada perasaan yang ikut diselimuti saat pandang mata itu jatuh
tepat pada sepasang mataku, senyumnya berubah saat ia menatapku untuk kedua
kalinya, ada keriangan di sana, aku melihat ia seperti menemukan pergolakan
baru yang lebih membuatnya merasa ada dan dihargai. Wanita itu bangkit berdiri,
ia merapikan bawaannya lalu melangkah—menghampiriku. Jantungku berdebar, ia
terus tersenyum dalam langkahnya itu.
“Can
i…” tanya wanita itu persis di depanku.
“Boleh,”
balasku tersenyum.
“Thankyou,”
wanita itu duduk tepat di sampingku, ia meletakkan barang-barangnya di bangku
samping kanannya. Aku terdiam melihatnya merapikan barang bawaan yang sedikit
banyak, satu koper dan tas, dengan beberapa kantung plastik—aku tidak tahu apa
yang ada di dalamnya.
“Theia,”
ia mengulurkan tangannya—aku membalas singkat.
“Zahid,”
senyumku.
“Theia
or Thea?” tanyaku, kesulitan mengeja.
“Theia.
Pake i setelah e sebelum a,” ia membenarkan letak duduknya—menatapku serius.
“Achso…”
“Achso?”
“Achso
itu maksudnya ‘Ohgitu’ dalam bahasa Jerman.”
“Achso,”
Theia tersenyum menggangguk.
“Jadi
penuh Achso kita… Eh btw, Theia itu apa artinya?”
“Wah
panjang nih kalo dijelasin, ada kaitannya sama astronomi… Jadi gini, ada yang
namanya, hipotesis tubrukan besar, artinya gini… Bulan terbentuk dari
puing-puing yang tersisa dari tubrukan antara Bumi dan benda seukuran planet
Mars, sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu. Nah, objek yang menabrak bumi itu sering
disebut Theia. Nama Theia diambil dari mitos Titan Yunani, Theia itu ibu dari
Selene, dewi Bulan,” aku terperanga mendengar penjelasannya.
“Oke…”
kataku mengangguk pelan.
“Rumit
kan?”
“Enggak
kok, nama yang indah. Cocok—sesuai sama orangnya.”
“Gombal
nih?”
“Enggak
dong. Buat apa? Serius itu…”
“Oke
oke, kalo namamu?”
“Hmm
Zahid… Kalo dalam KBBI sih artinya ‘orang yang telah
meninggalkan kehidupan yang ada hubungannya dengan keduniaan’.”
“Widih
aku dari Yunani, kamu arab,” Theia menggoda.
“Maknanya
tuh, hidup hanya untuk beribadah, bertapa, dan
sebagainya. Nggak ada urusan lagi sama kehidupan dunia.”
“Asik, berat banget namamu…” Theia masih menatapku.
“Iya sekarang udah satu ton,” ada tawa yang lepas di antara
kami.
Keretaku masih beberapa jam lagi, bayang-bayang malam telah
sepenuhnya pergi. Ini dini hari yang dinginnya menusuk hingga ke tulang. Aku
dengan flannel biru yang ditekuk masih merasa kedinginan. Theia memakai jaket
merah tebal, ia tampak santai—merasa hangat, meski aku terus berusaha lepas
dari dinginnya ruang tunggu itu.
Suara-suara kereta berlalu-lalang, pengumuman keberangkatan
dan petugas kebersihan yang mondar-mandir jadi pemadangan yang kami lihat bersama.
Setelah satu kereta pergi ruang tunggu menjadi sepi. Beberapa menit setelah itu
keramaian datang lagi, mereka menunggu keberangkatan kereta selanjutnya.
“Kamu mau ke mana?” Theia memecah keheningan.
“Jakarta,” kataku singkat, sengaja tidak bertanya balik—aku tidak
terlalu ingin mengetahui urusan orang lain.
“Mau ngapain?”
“Main-main aja.”
“Aku juga Jakarta, cuma bedanya ini aku balik,” Theia
berusaha mencairkan suasana.
“Ohiya? Gimana Semarang? Menyenangkan?” tanyaku pensaran.
“Ya begitulah… Aku nggak menemukan apa-apa di sini, itu yang
perlu aku catat. Kota ini nggak memuaskanku. Seperti ada yang hilang dari kota
ini, entah apa. Aku juga kurang paham, biasanya aku selalu bisa merasakan koneksi
setiap aku ada di sebuah kota yang aku datangi. Tapi di Semarang, perasaan itu
hilang, aku kesulitan menerjemahkan perasaan aneh ini… Mungkin kamu bisa bantu?”
“Perasaan kita sama, kota ini dipenuhi orang-orang sakit—kasihan.
Mereka tidak tahu kalo dirinya tidak tahu, seluruh sudut kota mulai diwarnai
pelangi, sejak ada kampung itu. Rasanya seperti seisi kota punya penyakit
latah. Kelatahan-kelatahan itu tidak disadari sebagai sebuah penyakit yang
nantinya bikin orang-orang alpa bahwa kebahagiaan mereka itu imitasi, cuma sementara.
Bahagia mereka cuma dipermukaan bukan di dalam pikiran—di dalam hati.”
“I know… Itu yang juga aku pikirkan sejak sampai kota ini. Ya
tapi gimana, mengubah masyarakat sama sulitnya memahami kenapa tuhan gak mau
ngomong padahal dia tahu dia bisa… Kamu sendiri gimana?”
“Apanya?” tanyaku memastikan.
“Kenapa masih hidup di kota ini?”
“Kota ini butuh seorang revolusioner, ia harus berada di
tengah-tengah masyarakat—mengubah pola pikir dan cara bersikap… Ini penting,
karena kota ini akan terus tertinggal kalo masyarakatnya bingung, mana kemajuan
besar, kita ini sedang jalan di tempat tapi dibungkus sama pencitraan
pemimpinnya, terlihat seolah kemajuan besar.”
“Tapi, pencitraan kan penting.”
“Iya, tapi mau sampai kapan?”
Theia terdiam, ia hanya tersenyum menatapku. Sampai suara
pengumuman dari pihak stasiun—kereta telah tiba. Kami bangkit bersama, melangkah
menuju pintu pemeriksaan tiket. Tiba-tiba Theia memegang tanganku, mengelusnya
lembut. Aku tersenyum melihat matanya yang cerah—berkaca-kaca. Ia jatuh terlalu
dalam pada percakapan itu. Dan aku hanya menanggapinya biasa.
----
"Kota ini butuh seorang revolusioner" :)
ReplyDelete