Ada
dua hal yang ingin kuceritakan tentang apa yang terjadi semalam. Dua hal yang
memberikan saya perspektif lain soal wanita, tentang bagaimana jalan pikiran
mereka, tentang bagaimana seharusnya saya bisa bijak menyikapinya. Apakah kamu
percaya, saya baru saja menyakiti perasaan seorang wanita. Entah dalam
kesadaran atau tidak. Saya menyesal, karena menyakiti perasaan seorang wanita
adalah hal yang paling saya hindari setelah semua yang sudah dilalui.
Masalah
pertama sebetulnya sepele, bahkan agaknya tidak bisa disebut sebuah masalah.
Kata-kataku menyakiti seorang wanita, membuatnya harus merespon dengan sesuatu
yang sebetulnya tidak perlu. Aku memang sedikit memberi jarak pada semua wanita
yang kukenal, saya tidak ingin ada jauh di dalam hidup atau pikiran mereka.
Tapi bodohnya itu yang saya lakukan semalam. Membunuh kebaikan seorang wanita
hanya dengan sebuah kalimat yang tidak perlu kuucapkan.
Saya
harus meminta maaf, itu yang terbesit pertama kali dalam pikiran setelah tahu
respon wanita itu. Tidak ada pikiran lain, ini salah saya—tidak mampu
menerjemahkan ekspresi seseorang. Di dalam bilik ponsel, suaranya mengartikan
dua hal; suara seseorang yang malas mendengar apa pun dariku atau suara seorang
wanita yang sedang merasa kelelahan karena begitu banyaknya masalah yang ia
hadapi.
Tapi
saya cukup senang, wanita itu dengan lapang dada menerima permintaan maafku.
Saya punya pengalaman tentang berbuat kesalahan pada seorang wanita di masa
lalu, yang membuatku sampai saat ini tidak lagi mampu berbicara dengannya
bahkan hanya untuk saling tatap. Ini berat, karena menyakiti perasaan adalah
hal paling rendah yang mampu dilakukan seorang manusia. Tapi untuk memulihkan
perasaan sakit itu tentu butuh waktu.
Lalu
masalah kedua, dalam kesedihanku ada rasanya saya ingin tertawa. Tawa kebodohan
setelah berulang kali berpikir tentang apa yang terjadi. Semalam saya
memimpikan kamu… Lagi. Hal yang dalam doaku selalu ingin kuhindari, mimpi
selalu memberikan saya sudut pandang lain tentang kehidupan. Mimpi seperti
dimensi lain yang berdiri sendiri, memiliki waktu dan ruang pandang yang
berbeda.
Biasanya
saya tidak pernah mampu melihat wajah seseorang dalam setiap mimpi malamku. Tapi
kali ini, mimpi itu terasa jelas, saya menerima pesanmu. Apa yang ingin kamu katakan
namun tidak sanggup bibir itu bersuara. Kenapa? Apakah kamu sedang ragu? Ya,
mungkin kamu sedang meragu. Hal yang sudah kurasakan sejak dulu. Saya
memimpikanmu dalam durasi waktu yang cukup lama, saya melihat kamu memeluk
kekasihmu, sambil berucap di depanku; “Apa yang terjadi di antara kita adalah sebuah
kesalahan besar.”
Ya
memang benar! Itu yang juga ingin kuucapkan sejak lama. Inti dalam mimpi itu
adalah tentang bagaimana kamu ingin mengucapkan selamat tinggal… Sekali lagi.
Setelah pertengkaran hebat yang pernah kita lalui dan setelah kamu
meninggalkanku karena rasa bersalahmu. Saya menunggu saat-saat ini, saat di
mana perasaan sepenuhnya hancur berkeping. Saat di mana bahkan saya sendiri tidak
lagi mau menatanya ulang—kembali menjadi perasaan yang utuh.
Yaa,
bagaimana pun, saya hanya penulis yang hanya mampu menerjemahkan perasaan lewat
kata-kata, dan mungkin nanti kata-kataku telah kehilangan nyawa. Ia kehilangan
napasnya sendiri. Tapi apa yang telah
saya lalu di dunia sebelum ini bersamamu adalah keindahan lain saat semesta
sepenuhnya berpihak. “You give me dejavu.” Sialnya begitu.
Ini
yang membuat saya semakin yakin, hidup menyendiri jauh dari orang-orang adalah
pilihan tepat. Saya telah lelah—menyerah dengan janji-janji yang diucapkan
manusia. Mereka selalu mengulangi kesalahan yang sama. Sadar atau mungkin tidak
kita seringkali menyakiti perasaan orang lain. Kita tahu tapi kita tidak
peduli. Maafkan saya jika setelah ini saya menghilang—berubah dalam wujud yang
lain.
----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar