Semalam aku bermimpi, langit yang
berbintang memanjakan mataku membentuk siluet wajah Ranum. Bintang-bintang
berubah bak aktor di panggung teater, bergerak acak dari bentuk lain ke bentuk
yang lainnya. Menghadirkan pertunjukan yang menjadikan Ranum sebagai pemeran
utama. Itu mimpi pertamaku pada malam itu, aku terbangun—sosok Ranum tampak
nyata. Tengah malam di Belanda sangat dingin, selimut ikut merasakan kebekuan
akibat angin, lama aku tersenyum sendiri mengingat mimpi yang tidak sepenuhnya
menjadi ingatan. Ponsel di samping bantal seakan berteriak—ku ambil ponselku,
kubuka file foto yang dikirimkan Sean tempo hari. Foto Sean dan Ranum yang
tersenyum lebar. Lagi-lagi aku senyum sendiri. Membelai rambutnya dari layar
ponsel. Ranum memang bagai bintang sirius—membutakan mata, bintang yang
terletak di rasi canis major. Friedrich Wilhelm Bessel pernah menyimpulkan bahwa
bintang sirius memiliki pasangan, lalu hampir dua dekade berjalan Alvan Graham
Clark menemukan pasangan sirius yang redup—sirius b. Jika Ranum bagaikan sirius
aku ingin menjadi bumi untuknya, yang dekat dalam sitem bintang.
Limabelas menit setelah tebangun, aku
memberanikan diri—mengirimkan pesan untuk Ranum. Beberapakali menghapus pesan
lalu mengetiknya lagi, mengganti pesan yang lebih tidak mengagetkan Ranum
ketika dia membacanya.
“Ranum
malam ini dingin ya.” SENT
Bodoh! Pesan macam apa itu.
Aku melanjuktan tidurku, menutup
selimut cepat-cepat, membuat dingin berubah hangat. Langit-langit kamar jadi
kanvas, membayangkan melukis wajah Ranum—beberapa detik setelahnya mataku mulai
gelap sebelum dikacaukan oleh dering ponsel. Satu pesan masuk—ini dari Ranum.
Dia belum tidur, atau mungkin sama denganku terbangun—memimpikanku.
“Aneh”
Seperti dugaanku, pesan bodoh yang
kukirim ditanggapinya aneh. Berkali-kali aku mencoba membalas pesannya.
Aku memutuskan tidak membalas pesannya.
Aku melanjutkan tidurku.
Belum lama aku mataku tertutup,
ponselku berdering lagi. Aku mecoba membiarkannya di dering pertama ponselku lalu
menutup mata. Ponselku berdering lagi—aku melihat ponselku. Dua pesan dari
Ranum.
“Kamu
mimpi buruk ya?”
“Sama
aku juga niih.”
Bulu tengkukku berdiri, jantungku
bedebar. Ranum membalas pesanku lagi, kali ini dua kali, aku memutuskan
melupakan rasa kantukku, mencoba terjaga. Dua menit berlalu aku masih menatap
pesan dari Ranum. Aku harus berhati-hati membalas pesannya, untuk menjaga
percakapan.
Niat balas dendam, tapi ini bukan
saatnya. Aku percaya dalam keadaan seperti ini—setiap orang pasti berubah dari
sifat yang dibawanya setiap hari. Keadan tengah malam seperti ini membuat
orang-orang jadi lebih jujur. Jadi kita bebas bertanya apapun dan pasti dijawab
dengan jujur. Karena alam bawah sadar kita menguasai tubuh yang setengah
mengantuk.
“Ranum
mimpi apa?”
Sambil menunggu Ranum membalas pesanku,
aku bangkit dari kasurku menuju dapur untuk membuat kopi. Aku membuat Colombian
Milds yang tersisa di Coffee Makerku salah satu varian kopi arabica dari Kolombia,
Kenya dan Tanzania. Jenis kopi arabica yang telah dicuci. Sebagai penikmat kopi
yang punya banyak gerai kopi di seluruh Belanda—aku memang terbiasa membuat
kopi untukku sendiri.
Aku berdiri di depan meja dapur dengan
dua tanganku yang menyentuh ujungnya. Ponselku tepat di samping kopiku. Ponselku
berdering setelah aku meminum kopiku. Satu pesan dari Ranum.
“Dokter
melarangku minum—minuman beralkohol, padahal aku bukan pecandu alkohol. Mimpiku
jadi aneh, besoknya dokter itu meninggal ditusuk prajurit berkuda, anehnya
prajurit berkuda ini patung—bukan real prajurit berkuda yang bawa pedang.”
Aku membacanya pelan, sembari sesekali
meminum kopiku. Tertawa sedikit diakhir pesannya.
“Ha?
Serius?”
Aku meninggalkan dapur membawa kopi dan
ponselku menuju ruang tengah, lalu meletakkannya di meja kopi yang berada di
samping sofa putih. Menyalakan TV lalu duduk di sofa putih yang berada di
samping meja kopi. Ponselku berdering berbarengan dengan nyala TV.
“Serius,
kira-kira maksud mimpinya apa ya?”
Aku tidak mempedulikan siaran TV, pesan
dari Ranum menyita pikiranku untuk membalas pesannya.
“Mungkin
kamu harus ganti profesi jadi prajurit berkuda, hahaha.”
“Eh,
apaan aneh banget. Kalo kamu mimpi apa, Rain?”
“Mimpi
jadi prajurit berkuda yang nusuk dokter.”
“Rain!!
Seriusan ah.”
“Mimpiin
kamu nih, Ranum.”
“Rain!!
Udah dibilangin, yang serius ah.”
“Eh,
ini serius Ranum. Nggak bohong.”
Sudah setengah jam sejak aku
mengirimkan pesan terakhirku, Ranum belum juga membalasnya, kopi di cangkirku
sudah habis. Siaran TV berubah jadi kumpulan semut hitam dan putih dengan suara
yang memekikan telinga.
Aku membuka mata, Langit sudah terang,
cahaya matahari menembus jendela kaca dengan tirai putih bermotif kincir angin.
Aku tertidur di sofa putih dengan TV yang masih menyala, aku melihat ponsel di
meja kopi samping sofa putih. Ranum belum juga membalasnya. Seketika tubuhku
melemah, tergeletak tanpa daya...
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar