Sejak
kejadian di Keukenhof aku sedikit memberi jarak dengan Rain. Bukan karena aku
tidak suka dengannya. Tapi, karena ini perlu. Memberi pelajaran bagi pria yang
mengatasnamakan cinta untuk mendapatkan orang yang dicintai. Aku tahu Rain
terpesona denganku, awalnya aku juga. Tapi, Rain membuat kesalahan, dia terlalu
cepat mengungkapkan perasaannya padaku. Membuatku hilang perhatian. Rain pria
yang tidak suka basa-basi, padahal aku suka dengan pria yang basa-basi.
Basa-basi membuat tingkah para pria bisa ditertawai. Aku suka itu. Aku
mendengar kabar bahwa Rain membuka cabang baru Rain Coffee tepat di sebelah
Queen Of Sean. Aku mendengarnya dari Sean.
Aku
berangkat kerja untuk pertamakali sejak satu bulan yang lalu, Meskipun baru
tadi malam aku bertemu Sean di Ran Fleuriste untuk mengobrol tentang
bintang-bintang. Aku melihat Rain Coffee dipenuhi para mahasiswa. Tentu saja,
Rain Coffee memang selalu ramai, tapi aku belum pernah sekalipun merasakan kopi
buatan Rain Coffee. Setelah aku memakirkan sepedaku, aku melihat cctv di Rain
Coffee yang dipasang menghadap tokoku. Aku tahu, Rain sengaja memasangnya di
situ untuk mengawasiku. Dua hal yang sangat berbeda, jika kedai teh Kakek
Winskel dipenuhi orang-orang tua, Rain Coffee dipenuhi anak-anak muda. Kedai teh
Kakek Winskel selalu sunyi meski banyak pengunjung, berbeda dengan Rain Coffee
yang berisik—memekakkan telinga.
Hari
ini langit Belanda sangat cerah, musim panas sudah datang dengan sejuta
kenangan yang mengapung di kanal-kanal. Di atas perahu mereka mentautkan
hatinya pada seorang kekasih yang melamarnya dengan romantis, membawa tulip
yang dibeli dari Ran Fleuriste dan cincin berlian yang dibelinya di pusat kota.
Kanal-kanal Belanda memang selalu jadi tempat yang banyak dikunjungi, termasuk
wisatawan dari luar negeri. Amsterdam punya lebih dari seratus kilometer kanal.
Tiga kanal utama yang terkenal di seantero Belanda. Herengracht, Prinsengracht, dan Keizersgracht, dibangun pada abad ke-17 pada zaman
keemasan Belanda. Di sekitar kanal utama ada lebih dari 1500 bangunan monumental yang
banyak dikunjungi turis.
Herengracht adalah kanal pertama dari ketiga kanal utama yang berada di
tengah kota Amsterdam. Kanal kedua adalah Keizersgracht terletak di tengah kota
Amsterdam, di antara Herengracht dan Prinsengracht. Keizersgracht dinamai
sesuai dengan nama Maximilian I, Kaisar Romawi Suci. Dan Prinsengracht adalah kanal utama keempat dan terpanjang di
Amsterdam. Kanal tersebut dinamai sesuai dengan nama Pangeran Orange. Kebanyakan
rumah-rumah di sekitar Prinsengracht
dibangun pada Zaman Keemasan Belanda. Jembatan-jembatan yang berada di kanal
Prinsengracht terhubung dengan jalanan Jordaan.
Sudah hampir
satu jam aku merapikan tokoku, hal yang memang biasa aku lakukan setiap pagi,
mengelap kaca toko, merapikan vas-vas bunga, memberi vitamin dan pupuk untuk
mempercepat pertumbuhan bunga. Aku menyukai kegiatan ini, membuatku merasa
tenang dan nyaman. Apalagi tokoku persis bersebelahan dengan Queen Of Sean—toko
kue milik Sean, toko kue paling enak yang pernah aku temui dalam hidupku.
Seperti biasanya aku memberikan satu tangkai tulip putih untuk Kakek Winskel,
meskipun Kakek Winskel belum datang aku menaruhnya di vas bunga yang ada di
meja kasir. Vas bunga yang khusus digunakan untuk menampung tulip-tulip
pemberianku.
Ini hari
terburukku, aku mendengar lonceng pintu toko berbunyi. Aku melihat seorang pria
bercelana pendek dan memakai kacamata hitam memasuki toko. Aku mulai menyadari
pria itu ketika dia melepaskan kaca mata hitamnya. Otakku beku, perdebatan di
rongga kecil itu memasuki babak baru, antara kaget dan gelisah bercampur jadi
satu. Aku sudah tidak mau lagi menemui pria ini, aku benar-benar sudah
melupakannya dan membangun dinding tinggi yang tidak bisa dia lewati. Dinding
itu hancur dalam hitungan detik. Sialan, pria dari Tropea Beach itu
mendatangiku, tersenyum dan menyapaku.
“Hey, Ranum.
Apa kabar?” Dia
menjulurkan tangannya, mengajakku bersalaman, aku menolak.
“Kamu?!”
“Iya ini
aku, kenapa? Kamu kaget, Ranum?” Dia menarik tangannya.
“Kenapa kamu
kesini!”
“Ayolah
Ranum aku sudah lama tidak mendengarmu memanggil namaku.”
“Berhenti
basa-basi” Untuk pria
ini aku tidak suka caranya berbasa-basi, aku muak.
“Ini toko
bunga Ranum, apalagi yang akan aku beli selain bunga?”
“Jangan
menggodaku.”
“Oh, kasar
sekali kamu, Ranum.”
“Apa maumu?”
“Apalagi?
Satu buket tulip, Ra—Num.”
“Warna apa!”
“Merah” Dia
menggoda.
Aku
menyiapkan pesanannya, setengah niat. Mau tidak mau aku harus melayani setiap
orang yang membeli bunga di Ran Fleuriste. Aku meyiapkannya dengan cepat,
berharap semuanya berlalu begitu saja, aku sungguh muak dengan pria ini. Aku
meliriknya, matanya terus menatapku. Dalam keadaan seperti ini aku butuh Sean—sial
itu tidak mungkin.
“Ini, satu
buket tulip merah.” Aku menaruhnya di meja kasir, untuk dia aku tidak sudi
memberikannya langsung.
“Wow, indah
sekali bunga-bungamu, Ranum.” Dia menggodaku lagi.
“Jangan lupa
bayar!”
“Ini, ambil
kembaliannya” Dia memberi 20 Euro.
“Nggak! Aku
akan memberikan kembeliannya” Dia
mengabaikanku, lalu pergi menuju pintu toko, sesekali menyium aroma bunga. Aku
mengejarnya—menarik tangannya ketika sampai di luar toko, dia berbalik.
“Ini
kembalianmu.”
“Aku bilang,
ambil kembaliannya, Ranum.”
“Stop,
buang-buang waktu.” Aku langsung memasukkan kembaliannya di kantong celananya.
Dia tersenyum.
“Kamu keras
kepala, Ranum.”
“Aku bilang jangan
menggodaku.”
“Pegang
bunga ini sebentar.” Dia meminta. Aku memegangnya seperti seorang ibu
menggendong bayi.
“Bunga itu
untukmu, Ranum.” Katanya, sebelum dia pergi melewatiku. Aku bingung dan kaget,
apa maksud dia melakukan ini. Aku melihat bunga yang ada di tanganku lalu
berbalik dan berteriak ke arahnya.
“Aku nggak
suka tulip merah.” Sambil melambaikan bunga di tangan kananku.
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar