Benedict Adinda membunuh adik
kandungnya, Benedict Maura, setelah mengetahui bahwa Maura adalah dalang dari
kematian ibunya. Adinda menggorok leher Maura dengan pisau kater berkarat yang
ia temukan di gudang rumah. Benedict Adinda merencanakan pembunuhan selama empat
belas hari sebelum kematian Maura. Ia memilih tanggal 23 April sebagai hari
kematian Maura karena tepat di hari itu Maura berulang tahun yang ke 25.
Benedict Adinda yang sehari-harinya
hanya tidur dan mendekam di rumah mulai mengikuti aktivitas Maura mulai dari
lari pagi tepat pukul enam hingga menonton series kesukaan Maura sebelum Maura
pergi tidur. Adinda tidak perlu bekerja, ia adalah pewaris utama kekayaan
keluarga Benedict yang menguasai 85% properti di kota ini. Konon keluarga
Benedict juga menjual narkoba dan ganja pada orang-orang di pinggiran kota.
Adinda mengetahuinya saat ia tidak sengaja mendengar percakapan ayahnya dengan
seorang tamu dari jauh saat ia hendak pergi mandi dengan handuk merah muda di
bahunya. Ia lalu mendengar percakapan itu hampir satu jam dan lupa bahwa
awalnya ia hanya ingin pergi mandi.
Mengetahui fakta itu, Adinda lantas
memborbardir ayahnya dengan banyak pertanyaan, Adinda tampak tenang, ia justru
mulai membuka negosiasi, ia ingin keuntungan dari penjualan narkoba dan ganja
masuk ke kantongnya. Ancaman Adinda bukan main-main, ia menginginkan bagi hasil
50%, ayahnya lantas menolak mentah-mentah, namun Adinda adalah perempuan yang
kuat dan kokoh, ia tidak mudah ditaklukkan. Saat itu ia mengambil ponsel di saku
celananya dan memasukan nomer polisi, ia menggertak ayahnya. Tentu ayahnya
tetap tenang, ia tidak percaya apa yang akan terjadi selanjutnya. Merespon ayahnya
yang tetap diam dan justru menantang, Adinda lalu benar-benar menelpon, belum
sampai pada dering kedua ayahnya sigap meraih ponsel Adinda dan mematikan
panggilan itu.
Hanya dalam lima menit, Adinda mampu
menyelesaikan negosiasi yang membuatnya tidak perlu keluar rumah untuk bekerja.
Ia memuaskan nafsu hedonnya dari uang hasil bagi rata bisnis haram itu, ia
membeli semua keperluan mulai dari tas mahal yang hanya ia pakai setahun
sekali, hingga sepatu motif macan yang bahkan tidak pernah ia pakai, hanya menjadi
pajangan di rak-rak tinggi yang ada di kamarnya. Benedict Adinda hanya keluar
rumah untuk belanja atau menyewa pekerja seks laki-laki untuk menuntaskan nafsu
birahinya.
Iya, di kota ini apapun yang dibutuhkan ada, termasuk para pria yang mencari uang tambahan dari menjajakkan
tubuhnya, kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa semester akhir yang kalap
karena menerima uang banyak dengan mudah sehingga meninggalkan kuliahnya. Adinda
tidak berbeda dari perempuan kebanyakan, ia juga memiliki fantasi yang selama
ini hanya tertanam di kepalanya, ia tahu tidak banyak tempat untuk perempuan
bebas memuntahkan isi kepalanya tentang seks, seperti yang dilakukan para pria
di setiap kolom komentar selebgram-selebgram seksi dengan payudara yang meronta
dari balik dress ketat.
Adinda selalu mengikat partner
seksnya, ia tidak hanya mengikat kedua tangan di ranjang, namun juga kedua
kaki, membuatnya merasakan ilusi kekuasaan, menjadi penguasa di atas ranjang di
malam yang tegang. Ia suka melihat prianya merengek dan memelas, itu
meningkatkan gairahnya seribu kali lipat. Benedict Adinda tidak suka pada pria
yang terlalu berisik saat ritual magis itu dilakukan, Adinda benci pria
cerewet, ia hanya butuh pria untuk mendesah keras hingga tidak mampu menahan
kenikmatan yang ia beri.
Biasanya kenikmatan itu hanya
bertahan semalam, lalu Adinda berganti pria yang lain, sampai akhirnya ia
bertemu seorang pria yang meremukkan hatinya sejak pertama kali ia melihatnya
di apartemen miliknya di pusat kota. Adinda tidak pernah berhubungan badan
selain di apartemennya, yang khusus ia sewa hanya untuk melakukan kenikmatan
itu. Ia bertemu seorang pria yang membuatnya merasa bukan perempuan paling
menggoda, pria itu bahkan tidak tampak tertarik pada pakaian seksi yang malam
itu Adinda pakai. Ia melakukan berbagai cara, namun pria itu tetap tidak
bergairah. Bahkan saat kuluman-kuluman membasahi seluruh tubuh pria berambut
cepak dengan hidung mancung itu, Adinda mulai merasa hilang akal dan menyerah, pria
itu hanya diam dengan tatapan kosong, tidak ada desahan yang menggema dan
membentur dinding-dinding seperti biasanya.
Normalnya, Adinda tidak peduli pada
nama-nama setiap pria yang ia sewa. Namun malam itu, pria di depannya
menyebutkan nama, Adinda mengingat dengan jelas nama itu, Raja Santana. Adinda
tanpa bertanya menyadari bahwa pria yang ia sewa malam itu adalah anak seorang
pengusaha terkenal saingan bisnis ayahnya. Selain memiliki properti yang secara
presentase tidak sebanyak Keluarga Benedict, namun Santana, ayahnya, memiliki properti
di jantung kota, tempat-tempat yang tidak pernah tidur. Apartmen milik Adinda
adalah salah satu properti milik keluarga Santana. Juga perusahaan lain dan industri
ditribusi yang dimonopoli keluarga Santana.
Raja Santana tidak sedang mengalami
hari yang berat, ia tidak sedang sedih, Adinda bertanya-tanya mengapa Raja
Santana berada di apartemennya malam itu, ia juga tidak kekurangan uang sehingga
harus melakukan pekerjaan semacam itu. Raja Santana lalu menyampaikan maksudnya
setelah ia memakai kembali celana yang Adinda buka. Maria Benedict meninggal, katanya.
Belum sempat benar-benar mencerna ucapan Raja, Adinda dilanda kebingungan akut,
ada suara-suara bising yang keras terdengar di kepalanya. Jantungnya berdebar
kencang sesaat Raja memegang lengan dan mengelus punggungnya. Adinda duduk lesu
di ujung ranjang, lalu mulai menangis, dan Raja memeluknya.
Dibanding ayahnya, Adinda lebih dekat
dengan ibunya. Karena sama-sama sering berada di rumah, membuatnya sering
membuka percakapan, bicara dan bercerita apapun. Ibunya jenis ibu rumah tangga
biasa yang dilarang suaminya bekerja, namun Maria Benedict adalah seorang
pemberontak, ia tidak ingin dinikahi untuk mendekam di dalam rumah dan melayani
kebutuhan suami. Maria Benedict lalu membuka sebuah salon yang dalam tiga bulan
menjadi salon paling sering dikunjungi orang-orang di kota. Salon itu memasar
golongan menengah ke atas, salon itu berada di lantai atas sebuah mall, dan
dari situ kita bisa melihat seluruh pemandangan kota 360 derajat. Salon itu ia
kelola sendiri, dibantu Adinda yang lebih sering mengurus keuangan, karena
pekerjaan itu bisa ia bawa ke rumah.
Maria Benedict tewas di salon
miliknya, Raja Santana berada di sana menemani ibunya menata rambut untuk pergi
kondangan. Kegaduhan itu terjadi saat Raja Santana yang kuliah fashion designer
dikagetkan dengan ledakan pistol pertama yang ditembakkan ke atas saat ia
sedang membaca majalah fashion kenamaan ibu kota. Seluruh pengunjung reflek
merunduk bersamaan, seorang pria dengan tattoo gambar spongebob di lengan kiri
menarik rambut Maria Benedict dan menyeretnya keluar dari ruangannya. Pria itu
menyuruh Maria Benedict duduk bersimpuh di lantai. Raja melihat kejadian itu
dengan sangat jelas, tampak raut ketakutan muncul di wajah Maria Benedict.
Lalu seorang perempuan muncul dengan hodie
hitam yang menutupi kepalanya, ia memegang revolver kaliber 22 di tangan
kananya, moncong revolver itu diarahkan tepat ke kepala Maria. Perempuan itu
membuka hodienya, dan Raja Santana mengenali seketika, Maura Benedict membunuh
ibunya sendiri, ia memukul kepala Maria dengan gagang revolver, menjambak
rambutnya dan mengeluarkan pisau kater dari saku hodie. Dari belakang Maura menggorok leher Maria
tanpa ampun, gorokkan itu tidak mulus karena karat yang mulai muncul pada
pisau, sempat tertahan beberapa kali, namun akhirnya Maura berhasil menuntaskan
hingga hampir setengah bagian leher.
Maura dan komplotannya pergi setelah menembakkan beberapa peluru ke atap-atap. Maura sempat melihat Raja Santana beberapa saat. Maura sama seperti orang-orang di
kota yang mengetahui Raja Santana hanya dari namanya saja. Raja Santana
tidak pernah sama sekali mengenalkan diri ke publik dan menunjukkan wajahnya. Tampaknya
keluarga Santana mengerti bahwa tidak dikenali adalah pilihan aman untuk
bertahan hidup di antara kehidupan bisnis yang saling sikut bahkan saling
bertukar nyawa.
Malam yang panjang untuk mendengar
fakta kematian ibunya, Benedict Adinda lantas pulang tanpa membalas Raja.
Seminggu berkabung Adinda masih belum bertemu adiknya, Maura. Ayahnya terlihat
normal, tampak tidak merasa kehilangan, dan Adinda membenci realita itu. Hari
kedelapan, Adinda menghubungi mucikari yang biasa menyediakan pria-pria pemuas
nafsu untuknya. Adinda ingin bertemu orang terakhir yang ia pesan, ia tidak
menyebut nama Raja. Muncikari itu menyanggupi.
Kamis malam, Raja dengan kaos putih
longgar dan celana bahan berwarna hitam muncul di apartemen Adinda.
“Aku hanya ingin ditemani,” ucap
Adinda, menyesap rokok kretek di tangan kananya. Raja tidak menjawab, ia
duduk di sudut ranjang, tidak jauh dari tempat Adinda duduk.
“Bagaimana bisa kau mengetahui aktivitasku
di sini?” tanya Adinda setelah mengepulkan asap rokok dari mulutnya.
“Well, kau tidak pernah menemui muncikarimu,”
Adinda terdiam, ia melihat Raja Santana, ada keinginan untuk mematikan rokok,
namun Adinda tidak ingin menunjukkan respon kagetnya. Ia lalu kembali menyesap
rokoknya dalam-dalam.
“Kau harus balas dendam,” lanjut Raja
Santana setelah terdiam beberapa saat.
“Sedang dipikirkan.”
“Maura membunuh lebih sadis dari
banyak pembunuhan yang pernah kulihat, adikmu memegang revolver, tapi memilih
pisau kater untuk menggorok leher ibumu. Seolah itu pertunjukkan kolosal.”
“Aku sedang merencanakan pembunuhan,
aku harus membunuhnya dua minggu lagi, dan kau harus membantuku.”
“Membunuh bukan pekerjaanku.”
“Tapi kau harus membantuku, kau yang
memberitahuku pertama kali.”
“Kalau kau menyuruhku menyediakan pria-pria,
itu bisa kulakukan. Pekerjaan mudah.”
“Kau harus membantuku, atau semua
orang akan mengenalimu,” Adinda mengarahkan ponsel pada Raja, lalu memotretnya.
Raut muka Raja menjadi tegang, tidak adalagi ketenangan di wajahnya. Adinda
menyesap lagi rokoknya, sesapan terakhir dan ia mematikan rokok itu pada dasar
asbak. Ia meminum satu gelas air mineral hingga habis tidak tersisa.
Mata Raja awas mengikuti pergerakan
Adinda, ia melihat lekuk tubuh Adinda pada balutan blus putih dan rok span
hitam di atas lutut, Adinda berdiri di depan Raja, memegang kepalanya, mejambak
rambut lalu membenamkan kepala Raja pada payudaranya.
“Sebelum membunuh, mari kita nikmati dulu
malam ini, Raja Santana,” ucap Adinda di antara desahan dan sentuhan juga
gigitan di putingnya. Malam baru saja dimulai, dan Raja tahu ia tidak akan
berdaya, dan ia membenci itu.
Semarang, 23 April 2021
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar