Valentine day’s tiga tahun lalu aku berkeringat
setelah mengejar pesawat pagi dimana aku harus pergi untuk merayakan hari
anjing ini bersama seseorang yang bahkan bukan kekasihku.
Urutan sumpah serapah terdaftar secara otomatis di dalam
kepalaku. Serapah apa yang paling cocok untuk menyumpah seseorang yang telah
berhasil membuat 14 Februari sepanjang tiga tahun terakhir di hidupku begitu
terkutuk seperti ini. Seharusnya, aku tak meratapi seperti kelinci kecil
begini. Tidak di kafé kecil yang ingar-bingar penuh kebahagiaan di hari kasih
sayang ini. Mengenang seseorang yang bahkan tak pernah mengenangku.
Aku terus bertanya pada sebuah tanaman di ruang tunggu
bandara, bagaimana ia bisa hidup—tegak berdiri di antara lalu-lalang
orang-orang yang pergi dengan buru-buru. Apakah tanaman ini punya tuan? Atau
apakah tanaman ini merayakan hari kasih sayang? Atau kapan terakhir kali orang
mengajaknya bicara? Entah. Lamunanku terhenti saat ponsel di saku celanaku
bergetar. Perempuan itu, yang kupikir akan memperbaiki moodku minggu ini
mengirim sebuah foto. Foto kencan pertama kita, kencan yang mendadak,
karena kita bertemu pada situasi yang tak terduga.
Dalam foto itu ia tertawa lebar, tawa yang masuk dari
telinga kanan, mengisi ruang kepalaku lalu keluar ke telinga kiri, yang sampai
saat ini masih bisa kulihat dan kudengar jelas dalam mimpiku. Di foto itu, ia
memakai gaun pendek selutut warna lila. Kuharap ia masih ingat bagaimana ia
mengomel tentang betapa bencinya ia memakai gaun yang warnanya serupa permen
karet itu. Atau alasan mengapa ia harus memakainya.
“Lo tahu, nggak, bridesmaids itu bukan budaya kita,
budaya kita itu ngantri makanan dua kali di kawinan sahabat sendiri. Nih
pegangin piring gue, gue mau ambil makan lagi,” kelakarku. Kuharap, ia juga
masih ingat, bahwa ia pernah berkata bahwa pernikahan sahabatnya adalah
satu-satunya pernikahan yang tak membosankan untuk dihadiri. Bukan karena ini
adalah hari bahagia untuk sahabatnya. Tapi karena di sini, di sinilah dia
bertemu denganku.
Waktu itu aku mengantri sate ayam tepat di
belakangnya, masih terekam jelas rambut panjang yang ia biarkan tergerai bebas,
juga aroma bunga lily yang membuatku berani membuka percakapan.
“Mba suka lily, ya?” tanyaku menepuk pundaknya.
“Sorry?” ia berbalik, dan saat itu, aku merasakan
lalu-lalang orang berhenti seketika, musik yang terputar dari speaker besar itu seperti tidak
terdengar, hanya dentuman-dentuman keras yang kurasakan. Ia sempurna di balik
gaun itu, dengan lipstick merah muda
dan mata yang kecokelatan.
“Parfumnya, wangi lily,” senyumku.
“Ohiya, Mas. Mas juga suka lily?” lalu percakapan itu
berlanjut sampai sate ayam di piring kita habis tanpa sisa.
Lily, seperti itulah dia. Selalu ada kerapuhan dan
ketulusan yang dibalut dalam keindahan, layaknya kelopak bunga lily. Masih
segar di kepala, ingatanku berbulan-bulan setelah percakapan yang menggemaskan
itu. Juga tentang bagaimana aku meminta izin untuk memanggilnya Lily.
“Kenapa Lily, sih? Karena gue mirip Lily Collins?”
“Itu panggilan sayang… Boleh, kan?” pintaku.
“Dih, emang lo sayang sama gue?” tanyanya sambil
berlalu. Kurasa saat itu ia tahu jawabannya. Dan kurasa, ia juga tak ingin aku
menjawab pertanyaan itu. Karena tanpa ungkapan apapun itu, aku yakin, ia pasti
menjawab “iya.”
Hujan turun pelan-pelan saat petugas bandara memanggil
para penumpang untuk segera masuk ke dalam pesawat, Aku membawa tas ransel di
punggungku, memakai sepatu adidas pemberiannya di valentine tahun lalu. Aku
tersenyum, memberikan tiket pesawatku pada petugas bandara lalu mengucap terima
kasih karena petugas itu mendoakan keselamatan dalam perjalananku. Sesuatu yang
ia juga lakukan pada penumpang lain. Pesawat itu hanya menempuh waktu kurang
lebih satu jam untuk sampai di kotamu, Yogyakarta, Tempat kau biasa menepi
dari yang hiruk dan pikuk. Kota tempat pertama kali ciuman itu terjadi. Tak
akan pernah kulupa, bagaimana kau menjelajahi bibir basahku kala itu.
Aku tak berharap banyak, tak berharap aku bisa
merasakan ciuman hangatmu lagi. Tak berharap memelukmu di hari kasih sayang
lagi. Melihatmu dan membisikkan tiga kata itu sudah cukup untukku sebelum kau
berjalan menyusuri altar menuju pria itu. Pria yang esok pagi akan berdiri di
ujung altar, di depan pendeta, menunggumu, dan akhirnya mengucap janji sehidup, semati itu denganmu. Tapi sebelum fajar menyingsing esok pagi, sebelum kau
kenakan gaun pernikahanmu yang secantik lily itu, bisakah sekali lagi, untuk
terakhir kalinya kau ucapkan tiga kata itu untukku?
Jogja belum begitu ramai pagi itu. Kau menungguku.
Kulihat senyum itu, senyum yang sama sekali tak berubah sejak kali pertama kita
bertemu. Kau memelukku, bertanya kabarku, dan menawarkan untuk mencari sarapan
lebih dulu sebelum kita menuju venue
pernikahanmu, hotel di pusat kota, tempat semua tamu undangan menginap. Lima
menit pertama kita saling diam, kau menolak tawaranku untuk menyetir. Bahkan
di saat-saat itu kau masih memperhatikanku, yang katamu pasti kelelahan karena
mengejar penerbangan pertama hari itu. Kita menuju ke sebuah warung pinggir
jalan yang menjual nasi ayam, "terlalu pagi untuk makan gudeg," kataku. Nasi ayam
itu adalah salah satu saksi kedekatan kita. Lalu untuk mengisi situasi yang
kosong karena kita tak saling bicara, aku memutuskan memutar lagu favoritmu.
“Masih inget aja lo lagu kesukaan gue,” aku terdiam
mendengar ucapannya. Tentangmu? Memangnya apa yang bisa kulupakan? Bahkan aku
masih ingat noda yang menempel di bajumu saat pertama kali kita bertemu.
“Makasih ya udah dateng. Gue seneng,” ucapnya sedikit
bergumam. Aku menelan ludah dengan susah payah, berpikir tentang bagaimana aku
akan melewati hari ini dan besok, dengan kenyataan bahwa aku akan kehilangan
dia selamanya. Bagaimana aku akan menahan keinginan untuk tak berteriak pada
pendeta, saat pak tua itu bertanya pada hadirin untuk mengajukan diri ketika ada
yang keberatan atas ikatan suci kedua mempelai. “Lily, jangan lakukan itu, aku mohon. Aku sayang kamu. Akulah yang
seharusnya mengucap janji suci itu bersamamu,” rasanya aku ingin
mengucapkan itu setelah lagu favoritnya berhenti berputar; akan kunyatakan
semuanya.
“Pernah kebayang gak sih gue kawin? Gue gak pernah
kebayang ketemu orang yang tepat kayak Michael. Ini kali ya yang dinamakan
jodoh?” mendengarnya aku terhenyak. Lagu itu berhenti, kita telah sampai.
“Yuk sarapan, gue laper,” dan kata-kata yang telah
tersusun rapi itu tak pernah keluar dari bibirku.
Ia merapikan bajunya, melihat pantulan dirinya pada
cermin di atasnya. Ia membubuhkan lipstick
di bibir mungilnya itu. Ia mencecap bibirnya berulang kali, dan aku masih
memikirkan kata-kata yang pada detik itu mulai tenggelam jauh, aku menatapnya saat
ia mengecek ponsel untuk melihat beberapa pesan yang masuk. Saat ia memasukkan
ponsel itu ke dalam tas, aku menyentuh lengannya, di detik-detik itu kita
saling menatap, jantungku berdebar makin kencang, ia mendekatkan tubuhnya pada
tubuhku. Saat kulihat matanya terpejam, kusentuh bibir itu dengan jari, jemariku, mengusapnya lembut dan ia makin menempelkan bibir itu pada jemariku.
Ia membuka mata, lalu bibirnya mendarat lembut pada bibirku. Pelan, tanpa tergesa.
Diiringi lagu Coldplay, Fix You, yang seolah menjadi soundtrack kisah ini, soundtrack
dari apa yang terjadi saat ini.
“aku pernah
berjanji akan ‘meperbaikimu’ seperti makna lagu ini,” di antara janji-janji lain yang belum sempat
kuwujudkan padamu. Aku bertanya dan penasaran, “Beginikah akhirnya?” Michael
yang akan menepati janji-janji itu? Haruskah kubiarkan begitu?
“Gue juga, Rey,” ujarnya tiba-tiba, melepas ciuman itu—tangannya
menyentuh sebelah wajahku. “Gue juga
sayang lo, dan akan selalu begitu,” matanya melembut, senyumnya tampak rapuh.
“Di kehidupan selanjutnya, temui gue lagi di depan
antrian sate, ya… dan bilang langsung ke gue kalo lo sayang sama gue, dan
jangan pernah biarin gue pergi selamanya…” aku menyeka titik-titik air mata
yang mulai tampak di wajah cantiknya, “tapi di kehidupan ini, please maafin gue… cuma sebatas ini lo
bisa sayang sama gue.”
Hari itu, di kota sialan itu, aku tersadar, yang kata
orang near death experience, ternyata tak harus
selalu langsung berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa. Menyadari bahwa aku
tak bisa memilikinya sudah lebih dari near
death experience untukku.
(Cerita kolaborasi oleh; Lintang @nyebeliiin &
Zahid Paningrome)
Ditulis spontan di Kofitiere, saat kami berdua merayakan Valentine’s day yang menyedihkan.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar