Waktu itu
aku sedang menyesap rokok pertamaku di depan sebuah warung masakan padang. Di
seberang jalan aku melihat honda jazz silver berhenti, mesinnya masih menyala,
kacanya gelap namun aku masih bisa melihat ada seorang pria duduk di kemudi. Samar-samar
aku membaca gerak bibirnya, bahkan sesekali aku mengikuti apa yang ia katakan.
Aku baru saja selesai memakan daging rendang hangat yang baru saja masak untuk
makan siang, aku tidak pernah sarapan, bagiku sarapan hanya untuk orang-orang
lemah.
Setiap hari
aku bangun pukul sepuluh pagi, membuka ponselku tepat setelah mata terbuka dan
masih agak berat karena semalam aku begadang menghabiskan drama korea yang tiap
episodenya bikin mata berair karena saking lamanya. Aku benar-benar tidak tahu
apa yang aku lakukan pada ponselku tiap pagi, sama sekali tidak ada yang
mengirimkan pesan, tidak ada notifikasi, tidak ada yang menarik, aku hanya scrolling sampai aku sadar jam dinding
di kamarku sudah menunjuk pukul sebelas.
Aku juga
tidak paham, mengapa drama korea bisa begitu lama. Mungkin itu mengapa mereka
disebut drama. Aku bisa menaksir bahwa setiap satu episode, sebetulnya mereka
bisa saja membuatnya menjadi setengah jam atau satu jam kurang lima belas
menit. Tapi yasudah, kita semua butuh drama yang menarik, karena drama kita di
hari-hari biasa jauh dari kata menarik. Drama korea membuatku berhalu-halu ria,
nasib-nasib karakternya selalu saja baik dan jauh dari realitaku sendiri.
Aku selalu
memikirkan nasib setiap karakter dari drama
korea yang kutonton, bahkan saat aku masih melihat honda jazz silver yang lampu
depannya kini mati. Aku sayup-sayup masih bisa mendengar mesin menyala, mungkin
supaya orang di dalamnya tetap merasa nyaman. Perutku bungah, rendang terenak
di bumi belum lama masuk dan membuat lambung, usus, dan seluruh organ dalamku
bergelora, seperti memutar lagu Inikah Namanya Cinta dengan volume yang sangat
keras.
Asap rokok
terus keluar, bau-bau tembakau mulai tercium, aku terus menyesap rokok yang
kubeli dari warung di samping masakan padang langganan tempatku bisa
ngutang saat uang-uang di kantongku sedang berlibur entah ke mana. Aku melihat
pria itu mulai bicara pada seseorang di sampingnya, yang kupikir pada awalnya
ia hanya sendirian, ternyata seorang perempuan duduk sejak pertama aku melihat
mobil itu berhenti di seberang jalan.
Mereka
seperti terlibat dalam pertengkaran hebat, hampir mirip setiap pertengkaran
dalam drama korea yang makin tragis karena gerak kamera dibuat berlebihan dan
musik yang lebay karena diulang berkali-kali tiap pertengkaran terjadi. Aku
bisa menduga apa yang mereka bicarakan, apa yang keduanya perdebatkan. Bisa
jadi salah satunya ketahuan selingkuh, atau hubungan mereka tidak direstui
salah satu orang tua.
Kupikir dua
masalah ini selalu menjadi alasan sepasang kekasih pegat di tengah jalan. Aku
setuju selingkuh merusak semuanya, aku juga setuju harusnya korban memutus
hubungan itu. Selingkuh ada karena niat, ya mirip bang napi bilang kalau
kejahatan datang karena niat pelaku. Bayangkan aja selingkuh itu kejahatan, dan
aku membenci jika korban tetap jatuh cinta dan tetap ada di hubungan yang
sebetulnya sudah rusak itu.
Ah untuk
urusan orang tua, harusnya ibu bapak tidak perlu mencampuri asmara anaknya,
untungnya bapak ibuku tidak begitu, yaa mereka sudah lama meninggal. Mau
apalagi. Tapi pernikahan tidak hanya menyatukan sepasang kekasih saja,
pernikahan juga menyatukan dua keluarga. Pernikahan adalah ekosistem yang
dibuat dan harus dijaga, jika salah satu aspeknya tidak terbentuk atau tidak
dipelihara dengan baik biasanya pernikahan akan berakhir tidak menyenangkan.
Lagi-lagi sama seperti drama korea yang pernah kutonton. Aku heran, mengapa
korea bisa membuat cerita yang beragam tapi kita tidak. Mungkin karena korea
menghargai keberagaman, mereka haus hal-hal baru. Sedang kita? Selalu alergi
dengan kebaruan, menolak yang beragam, bernafsu menyeragamkan lainnya.
Rokok
pertamaku habis saat kulihat pria di kursi kemudi membuka kaca mobil, ia menunjuk
warung masakan padang tempatku duduk. Kupikir awalnya mereka sedang
membicarakanku, namun aku tersadar saat pria itu menciptakan sebuah gesture
bahwa dirinya lapar dan butuh makan.
Aku
mengambil rokok keduaku yang kutaruh di atas telinga, kubakar rokok di mulutku,
dan melihat sepasang kekasih itu turun dari mobil, mataku terpaku, keduanya
berdiri berdampingan, mereka menyebrang jalan dengan hati-hati. Keduanya masih
terlibat dalam sebuah perdebatan yang tampaknya makin panas. Aku makin
mendengar yang mereka perdebatkan tepat saat keduanya sampai di depan rumah
masakah padang, tidak jauh dari tempatku duduk. Pria itu masuk lebih dulu, lalu
diikuti kekasihnya yang tampak cantik berambut pendek dengan setelan jins
longgar, sepatu putih dan hodie yang longgar.
Perdebatan
mereka makin keras terdengar, dan aku terus menyesap rokokku. Ternyata keduanya
memperdebatkan mana yang lebih enak di antara rendang dan ayam pop. Aku
tertawa, tebakanku salah, haluku jauh entah ke mana, ini karena drama korea
mempengaruhi penilaianku pada orang lain. Lalu aku teriak “Rendang!” keduanya
menoleh, perempuan itu memukul pundak kekasihnya. Tanda perdebatan itu selesai,
perempuan yang makin lama mirip Najwa Shihab itu memenangkan perdebatan paling
tidak mutu yang pernah kulihat. Mungkin Najwa Shihab pun malu mendengarnya.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar