Sudah
kupikirkan baik-baik, tidak ada yang benar-benar merasa baik, saat apa yang
kamu yakini harusnya berjalan baik. Untuk standard yang kita yakini menjadi
kabur, dan menemui jalan buntu saat ia dipertemukan oleh seseorang yang
standard hidupnya ditentukan oleh orang lain. Sudah kupikirkan baik-baik, tidak
ada yang benar-benar merasa baik, saat apa yang kamu yakini harusnya berjalan
baik. Namun ternyata menjadi baik adalah posisi yang sangat tidak ideal, baik
memilih kamusnya sendiri. Dan aku bukan bagian dari isi kamus itu, bahkan
sampulnya, bahkan judulnya. Aku di luar konstelasinya.
Kupikir
segala yang buruk seharusnya tidak ikut campur, buruk adalah kata sifat paling
mematikan, ia sembunyi di balik kata baik. Orang-orang menggunakan kata itu
sebagai kartu terakhir, kita memutuskan segala sesuatunya tiba-tiba sebelum
tepat pada waktunya, kita buru-buru memilih dan menilai, sampai akhirnya harus
terang-terangan membenci hanya untuk sekadar lupa. Padahal di lubuk hati paling
dalam, membenci adalah perasaan yang perlu kita buang jauh-jauh. Namun apa
boleh buat, melupakan seseorang yang selalu memberi memori-memori baik seperti
berdiri di atas rel kereta api dan berharap tidak mati saat gerbong-gerbong itu
melintas.
Kita pikir
kita baik, saat berpikir semua ini demi diri, pikiran dan hati, namun
belakangan muncul satu hal di detik terakhir; bagaimana jika kita tidak sedang
menyelamatkan diri sendiri, justru sedang menghancurkan apa yang hendak kita
perbaiki. Mekanisme dibentuk dari pengalaman yang selama ini kita pelajari,
bahwa tanpa adanya kemampuan analitik yang baik, pengalaman hanyalah busa pada
air cucian baju ibu, dibuang, dimainkan oleh anak ibu paling kecil, atau paling
buruk merusak lingkungan.
Sudah
kupikirkan baik-baik, cerita ini ditulis saat kesedihan memasuki hari ke
sembilan belas. Aku tidak paham lagi apakah kesedihan bentuk dari sifat baik
atau buruk, sedih pada sesuatu yang buruk adalah mesin penghancur yang
membabi-buta pikiranmu. Sedih pada pengalaman buruk yang harusnya membentukmu
ternyata justru menenggelamkanmu pada badai penuh intrik di dalam kepala. Kesedihan
mengambil alih tubuhku, ia menguras seluruh energy lalu pergi. Tanpa pamit,
tanpa mengucap hati-hati.
Aku waktu
itu merasa ingin menjadi anak kecil. Yang tidak mengenal kesedihan sebagai
pembentuk sifat manusia, kesedihan hanya sebagai bagian dari permainan yang ibu
akan membantumu untuk tidak lagi menangis. Anak kecil memahami kesedihan lebih
hebat daripada kita yang hidup di dunia dengan orang-orang yang tidak tahu
diri; meminta maaf tanpa hati, meminta tolong tanpa peduli. Sudah kupikirkan
baik-baik, cerita ini ditulis saat amarah memasuki minggu keduanya bernyawa, ia
selalu lebih butuh makan daripada inangnya sendiri. Sudah benar-benar
kupikirkan. Benar-benar.
Aku sedang
berusaha menyembuhkan diri saat cerita ini terjadi, aku yakin, aku hampir
merampungkan proses itu. Aku hampir selalu mendengar tiap tangis di detik-detik
pergantian malam tiap harinya, tangis-tangis yang menggambarkan sifat buruk
dari perpisahan, atau sifat buruk dari mengetahui sesuatu tapi memilih untuk
diam dan tidak mengerti apa-apa. Kesedihan-kesedihan membawa kita pada
ruang-ruang baru, saat kita pikir, kita butuh orang lain; kita lupa berpikir
orang lain juga butuh yang lainnya. Karena mekanisme pertahanan diri yang
rentan mudah dihancurkan saat kerapuhan dalam diri membungkus kepalamu, atau
bahkan matamu.
Sudah
kupikirkan baik-baik pertanyaan ini, setiap kali aku merebahkan tubuh pada
malam-malam dingin di kamar tidurku, aku selalu bertanya, mengapa tiap kali
rasa sedih datang, kita tidak menemukan bagian dari diri kita yang selalu hadir
saat perasaan bahagia menyetubuhi. Aku berpikir seolah ada sosok lain yang
sembunyi di dalam tubuh ini, dan ia hanya ingin merasa bahagia, saat kesedihan
datang ia pergi, membiarkan kita merasakan sendiri. Aku lelah karena setiap
kali aku harus merasakan sendiri aku selalu kalah. Kesedihan selalu menjadi
musuh utama umat manusia. Pertanyaan itu sudah kupikirkan baik-baik, mengapa
sosok-sosok yang biasanya hadir untuk semua perasaan bahagia menghilang
bersamaan dengan perasaan itu. Sudah kupikirkan baik-baik, dan masih kupikirkan
baik-baik.
Apa yang
akan kita katakan, saat seseorang hadir dan meminta tolong. Apa yang akan kita katakan,
saat seseorang itu ternyata baru saja merasakan pengalaman hidup paling pahit
dalam sepanjang hidupnya. Aku selalu bertanya-tanya, apa kata-kata yang paling
ideal untuk menyembuhkan seseorang dari rasa sakitnya, atau paling tidak
membuat orang itu sedikit merasa baik-baik saja. Sejak dulu hingga kini masih
kupikirkan baik-baik apa yang seharusnya aku lakukan saat itu terjadi dan
mendatangiku. Jangan kau biarkan saat seseorang datang dan menceritakan
kesedihannya, karena kau pun butuh orang lain untuk menetralkan kesedihanmu.
Sudah
kupikirkan baik-baik, segala hal tentang kesedihan ada baiknya di buang
jauh-jauh, namun ternyata merasakan kesedihan sampai benar-benar kering dan
habis adalah jalan satu-satunya berdamai pada kesedihan itu. Kita tidak bisa
melawan sesuatu dengan mata tertutup atau wajah yang tertunduk. Kita butuh sadar
untuk membuka mata, membuatnya ciut dan lari entah ke mana. Sudah kupikirkan
baik-baik sampai pada akhirnya kesedihan telah berteman baik dengan diriku, mungkin
sebaiknya kamu juga. Sudah kupikirkan baik-baik, menganggap kesedihan sebagai
perasaan biasa yang pasti datang, entah apakah pikiran itu akan berujung baik
atau buruk. Tapi, sudah kupikirkan baik-baik.
Sudah
kupikirkan baik-baik, mulai hari ini. Aku akan merasa baik-baik saja, tetap
baik-baik saja, saat hal-hal buruk mampir menghantuiku. Semoga kamu juga
baik-baik saja saat itu terjadi di hidupmu. Sudah waktunya kita menang lagi
dalam pertarungan antara kesedihan dan perasaan baik-baik saja. Sudah
kupikirkan baik-baik, bahwa saat seluruh tubuh, pikiran, dan jiwaku menghendaki
baik-baik saja, semua akan bisa kulewati juga dengan baik-baik saja. Sudah
kupikirkan baik-baik, semoga kamu juga memikirkannya baik-baik.
Semarang,
15 Juli 2020
Sudah kupikirikan baik-baik tulisan mas Zahid memang kereeen :), hehe
ReplyDelete