Aku sejujurnya selalu memikirkan hal ini; apakah
mendengarkan adalah aktifitas paling sulit selama kita mencicipi hidup di dunia?
Apakah mendengarkan memang butuh keahlian khusus? Kalau kamu merasa ceritamu
tidak pernah didengar, mungkin kita bisa membuat lingkaran, saling berpegang
tangan, dan mengucap doa; semoga tuhan selalu mendengar kita. Ada hal-hal yang
gak sanggup kita ungkapkan, kadang kita lebih memilih diam karena kita terlalu
takut pada respon orang tentang apa yang kita ceritakan. Namun ketika kita
pikir ulang, sebetulnya ketakutan kita bukan tentang respon orang terhadap
cerita kita. Kita takut orang itu jadi seenaknya, kita percayakan satu cerita
pada seseorang, detik itu juga kita was-was cerita itu akan menjadi bola liar
sampai pada titik yang mana. Itu mengapa kita lebih sering memilih diam.
Aku sejujurnya selalu memikirkan hal ini; mengapa
cerita kita tidak pernah benar-benar didengarkan, ruang-ruang selalu penuh
dengan cerita-cerita sampah dari orang-orang yang haus spotlight. Sehingga apa
yang kita butuh untuk dengar tertutup oleh kebisingan-kebisingan tanpa arti. Ada
banyak cerita yang tidak kita pedulikan, namun pada akhirnya kita terpaksa
mendengarkan, karena cerita itu disampaikan dengan sangat lantang. Tidak ada
ruang bagi kita untuk menghindar.
Cerita kita tidak didengar, aku sejujurnya selalu
memikirkan hal ini; aku menggunakan kata kita sebagai pengganti kata aku. Karena
barangkali aku tidak sendirian, orang seringkali jadi seenaknya, ketika ia
menceritakan segala yang membuatnya gila, kita mendengar dengan seksama dan
hati-hati, karena takut menyakiti. Saat wejangan kita menemukan titik terang
dan mampu membuat orang lain tercerahkan, orang itu justru kembali ke sifat
aslinya. Iya, yang suka seenaknya. Saat kita membutuhkan dia untuk mendengar
cerita kita, orang itu menghilang. Tidak peduli, tidak ingin mendengar cerita
kita.
Aku selalu memikirkan hal ini; pada banyak perempuan
yang mengaku dirundung hanya karena kekasihnya melanggar apa yang sudah keduanya
yakini sejak awal. Aku bisa paham hati wanita selalu menjadi bagian tubuh
yang sangat rentan. Mereka bisa sedetik yang lalu mengaku tersakiti lalu
sedetik kemudian menjadi seseorang yang paling tidak apa-apa. Ia rapuh dan lupa
jalan pulang. Saat kekasihnya menyakiti dirinya untuk pertama kali, ada
penolakan dari dalam dirinya; ia tidak percaya pada realita bahwa kekasih yang
sangat ia cintai itu mampu melukai perasaannya.
Aku sejujurnya selalu memikirkan ini; mungkin kamu
harus pasang telinga baik-baik, mengapa lebih banyak perempuan daripada
laki-laki yang sadar dan mau memberikan kesempatan kedua bahkan ketiga pada
sosok yang benar-benar menyakiti dirinya sampai ke tulang. Aku memikirkan ini
baik-baik; mungkin karena memaafkan adalah human nature seorang perempuan,
seorang ibu. Seperti saat kamu terlibat cekcok pada ibumu, ibumu akan lebih
mudah memaafkanmu, daripada ketika kamu terlibat cekcok pada bapakmu. Tapi
orang seringkali lupa, tak akan ada aksi tanpa sebab, ketika kata maaf masuk
ke otak dan memengaruhi pola bertindak kita, apa yang harus dilakukan
setelahnya?
Mungkin saatnya kamu mendengarkan cerita orang lain,
karena dirimu yang keras kepala itu, hanya ingin didengar. Saatnya kamu
mendengarkan cerita ini. Tidak ada yang baik tumbuh dari perasaan hancur. Balas
dendam adalah sesuatu yang pasti, meski tiap orang punya caranya masing-masing.
Tiap kali mendengarkan seorang perempuan menceritakan kisahnya, pengalamannya
dengan seorang pria yang diakuinya brengsek, aku selalu memasang badan pada dua
kemungkinan. Perempuan itu sedang mengalami shock, yang berimbas ia melakukan
penolakan pada apa yang terjadi. Itu mengapa lebih banyak perempuan yang berani
memaafkan kekasihnya dan kembali bersama. Ia menerjemahkan penolakan itu dengan
kembali pada sosok brengsek yang menyakitinya.
Barangkali kita selalu jadi sosok yang tidak pernah
sempat mendengarkan cerita orang lain, tapi apakah benar kita sudah benar-benar
mendengarkan cerita kita sendiri? Apa yang kita ingin, apa yang kita butuh.
Apakah benar pilihan-pilihan itu ada karena kesadaran kita sendiri, atau
dipengaruhi oleh mulut orang lain. Atau cara kita bertahan hidup adalah dengan
kembali mengarungi cerita yang sama dari awal? Tapi apakah kita berpikir itu artinya
kita membuang-buang waktu.
Aku sejujurnya memikirkan hal ini; apa yang harus kita
lakukan saat cerita kita tidak didengar? Kita harus merilis semua yang
menganggu di kepala, kita tidak bisa selamanya diam pada pengalaman hidup yang
merusak kita pelan-pelan dari dalam. Kita butuh sosok oase, yang bersedia duduk
dan mendengar cerita kita meski cerita itu mungkin cerita paling sampah yang
pernah ada. Namun sampah bukan sesuatu yang tidak bisa diubah. Kita butuh sosok
itu, saat cerita kita tidak didengar, ia menjadi sosok yang selalu siap
mendengar apapun celotehan yang keluar dari bibir penuh tangis itu.
Namun aku sejujurnya memikirkan hal ini; seorang
pendengar pasti juga membutuhkan pendengar yang baik. Kita semua seperti sebuah
mobil yang butuh netral untuk berhenti. Kita perlu menetralkan kesedihan kita
dulu sebelum melanjutkan perjalanan yang gelap dan terjal. Tapi apakah kita
peduli pada sosok pendengar yang selalu ada untuk menampung ceritamu, atau
apakah kita sama saja seperti yang lain. Tidak sempat dan tidak ingin mendengar
yang lain, asal cerita kita sudah netral dan kita siap berangkat. Tidak ada
yang bisa menghadapi kesedihan sendirian. Kita bisa mengambil peran untuk
menjadi sosok itu; yang mendengar dan menetralkan apapun yang menganggu kepala.
Namun, sejujurnya aku memikirkan hal ini; apakah saat
cerita kita tidak didengar kita boleh memberontak selain menangis? Kesedihan
tidak memiliki obatnya, ia adalah virus mematikan yang tidak terhindarkan. Dan
manusia adalah satu-satunya penawar ampuh yang bisa menetralkan itu semua hanya
dengan mendengarkan.
Semarang, 21 Juli 2020
Semarang, 21 Juli 2020
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar