Tiap kali hal ini terjadi, aku selalu berharap bahwa
aku tidak menuliskannya. Karena ketika tulisan seperti ini benar-benar eksis dan
lahir artinya aku tidak sedang baik-baik saja. Aku selalu memimpikan kesempatan
kedua, aku memimpikan lebih dari beribu kali. Ada banyak hal yang selalu aku
sesali, meski sudah kuniatkan untuk diputuskan. Mengambil langkah-langkah yang
sejak awal sudah kumengerti akan menjadi sakit, akan jatuh sekali lagi. Sungguh
bagaimanapun aku tidak pernah mengharapkan hal-hal seperti ini terjadi lagi. Aku
selalu terjebak pada hubungan yang tidak adil. Hubungan-hubungan yang membawaku
pada garis batas tapi aku terkunci di dalam, saat aku melewati batas itu
aku tetap berada di jeruji yang sama. Dan terus terulang entah sampai kapan.
Aku hilang kendali, satu hal aku ingin kamu, lain hal
aku menyadari hal itu tidak mungkin terjadi. Barangkali bagimu tidak ada yang
salah, tapi kamu selalu lupa—aku masih manusia, yang punya hati, punya
perasaan. Sungguh ini tidak adil, saat aku mulai membuka kemungkinan untuk
siapapun, membuka segala yang ditutup oleh yang lalu, aku selalu menemukan hal
yang sama; sebuah hubungan yang terlanjur dimiliki orang lain. Barangkali
benar, nyaman adalah jebakan. Tapi sesungguhnya aku merasa nyaman sejak pertemuan
kita pertama kali. Caramu tertarik pada segala hal yang keluar dari bibirku,
sentuhan-sentuhan yang sudah lama tidak kuterima dari siapapun, atau caramu
memborbardir ruang obrolan di whatsappku. Aku takut kehilangan itu saat aku
terpaksa memutuskan. Biasanya memutuskan hal yang ternyata buruk bagiku, namun
tetap perlu kutempuh. Rasanya seperti ditelan hidup-hidup.
Percayalah, aku masih rentan, sejak hubungan yang
terakhir membuatku berhenti. Mengalami fase-fase menyebalkan, fase di mana aku
butuh namun tidak berani mengungkap apa yang ada. Saat di mana aku berada dalam
ruang hitam, dan aku butuh cahaya yang menuntunku ke luar. Saat kenangan yang
terakhir membuatku memikirkan bahwa pertemuan adalah hal yang penting dan
kubutuhkan, namun aku selalu memikirkan posisiku. Di mana aku, dan sebagai apa
aku. Ini selalu menjadi tidak adil untukku. Aku berusaha mengendalikan
semuanya, berharap ketika yang satu hilang, aku tidak kehilangan yang lainnya,
namun kenyataannya aku yang ditinggalkan, entah dengan terang-terangan, atau
dengan cara-cara yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Yaa barangkali kecewa
adalah kata yang pas untuk disematkan menjadi nama tengahku.
Aku adalah sisa-sisa kerapuhan dari dinding kokoh yang
dulu pernah ada dan sempat melindungiku dari perasaan-perasaan ingin. Ingin memiliki,
ingin menyayangi, ingin mencintai, atau ingin-ingin yang lain. Kubiarkan
perasaanku tenggelam pada segala kondisi yang membawaku ke ruang paling tenang,
ruang paling nyaman, sampai aku tersadar; aku lupa jalan pulang. Bahkan setelah
aku ingat ke mana jalan pulang, aku tersadar, aku tak punya rumah. Di situasi
seperti itu, aku butuh kamu. Namun kamu punya rumah yang selalu menunggumu,
selalu siap kapanpun, dimanapun kamu butuh. Aku; hanya pria yang tersesat jauh
entah ke mana. Hilang kendali, hilang diri, hilang hati.
Setiap kali hubungan itu berakhir, aku selalu ingin
hubungan itu kembali lagi. Aku selalu bernafsu untuk memperbaiki hal-hal yang
rusak dan hancur karenaku sendiri. Yaa, aku terlalu naif untuk menyadari bahwa
hal-hal yang kuinginkan hanya akan menjadi debu yang beterbangan, tertiup angin—hilang.
Aku naif, menginginkanmu kembali, menginginkanmu untuk meninggalkan kekasihmu
saat ini, terlalu naif untuk memiliki hubungan yang baik-baik saja, tanpa perlu
risau tentang keberadaan, tidak perlu risau bahwa aku hanya menjadi orang
ketiga—sekali lagi. Dan terus terulang. Meski pernah kubilang, relationship itu
persoalan human experience, ternyata aku menyadari, pengalaman ini mungkin
hanya aku yang pernah dan mampu mengalami. Ditinggalkan, diacuhkan, dilupakan,
atau hanya menjadi pilihan. Sesungguhnya aku rindu, aku yang dulu.
Yang menentang segala hal, yang tidak peduli bahwa ada
cinta yang butuh dibalas. Aku bersikap seolah semua tidak pernah terjadi, namun
sayangnya aku salah mengambil sikap, lupa bahwa segala hal adalah persoalan
momentum. Yang ujung-ujungnya aku hanya menyesali, atas sesuatu yang tidak
adil. Menangis di tengah malam, di atas roda dua berkecepatan tinggi, dan
berharap ada kendaraan lain yang menabarakku, menghancurkanku sekalian.
Daripada aku harus merasakan dejavu berulangkali. Kupikir aku terselamatkan
dengan keberadaanmu, tapi aku menyadari satu hal, makin dalam aku terlibat,
makin jauh aku tersasar—tidak tahu jalan pulang. Aku hanya ingin kamu ada, di
tempat dan waktu yang tepat. Bukan dalam setiap kesedihan yang lagi-lagi harus
terulang.
Tapi, semua yang pernah aku alami, sungguh tidak ingin
kulupakan sama sekali. Aku menikmati masa-masa itu, masa tidak menjadi pilihan,
masa menjadi orang lain untuk mempertahankan seseorang, masa-masa menjadi ramah
untuk tidak dianggap asing. Atau masa-masa saat kebahagiaan dan rasa sedih
hanya berjarak satu jengkal. Aku akan mengingatnya sampai aku tidak lagi mampu
merasakan apa itu jatuh cinta, apa itu rindu, apa itu cemburu, apa itu sakit
hati, apa itu kecewa. Saat tulisan ini muncul dan di titik ini kamu membacanya,
barangkali aku telah menghilang dari radar, dan cukupkan dirimu. Aku tidak ada
di mana-mana, aku berada jauh dalam jangkauanmu jika yang ada dipikiran dan
hatimu hanyalah laki-laki lain.
Aku terlalu larut dalam ceritamu, sampai aku melupakan
cerita yang ingin kutulis sendiri, dan kamu menolak menjadi tokoh dalam
cerita itu. Tidak ada yang terlalu perlu disesali, aku hanya kepingan kecil
dari kepingan penting dalam ceritamu—kisah cintamu yang menyenangkan, yang
kubantu untuk menjadi sempurna. Aku hanya tokoh pengganti—yang mendukung
keberadaanmu, saat kamu dan laki-laki itu terlibat dalam situasi menyebalkan
atau bahkan pertengkaran hebat. Aku tidak akan sembunyi, meski keberadaanku
selalu berusaha kamu sembunyikan. Aku ada, meski kamu tidak ada di mana-mana.
Aku hanya butuh udara, butuh sesekali bernapas dari keadaan yang makin hari
makin membuatku gila.
Aku akan menghilang tepat setelah pesan terakhir
laki-laki itu masuk ke ponselmu. Aku hanya sedih, aku hanya kecewa pada diri
sendiri—yang terlalu larut dan emosional pada hubungan yang tidak mampu
kukendalikan, karena aku bukan pilotnya atau bahkan co-pilot. Aku hanya pemain
cadangan, dan saat aku berada dalam permainan aku hanya bisa mengacaukan, tentu kamu menyadari itu. Aku adalah kekacauan yang teratur, selalu
menghancurkan segala hal yang seharusnya ada untuk menjadi obat bagi setiap
napas yang kamu ambil dari hiruk-pikuk yang membuatmu jenuh.
Tapi aku tetap manusia, punya perasaan yang seharusnya
tetap kamu jaga. Punya perasaan takut kehilangan, sehingga bersikap seolah
semua harus sesuai iramaku. Aku adalah penghancur bagi diriku sendiri, aku
adalah bom waktu dan racun dalam diri. Aku hanya rindu, merasakan diri yang
baik-baik saja, tanpa perlu berpikir kita ini apa, tanpa perlu berpikir besok
akan jadi seperti apa. Aku rindu kamu, sungguh. Aku rindu diriku yang dulu.
Yang selalu membantumu menulis cerita yang lugu dan membuatmu candu. Aku ingin
menolong sekali lagi—bukan menjadi tokoh yang harus ditolong. Saat semuanya
menghujam persis ke jantungmu, apa lagi yang perlu kamu tunggu. Selain kematian
yang menunggu. Aku hanya menunggu, kamu yang datang sebagai penolong atau
sebagai kematian yang tidak membawa ampun. Aku selalu menunggu bagaimana ini
akan berakhir.
Satu hal yang perlu kamu tahu, apapun yang terjadi di
akhir. Aku adalah pihak yang pasti akan kalah, bahkan hanya dengan menutup
mata.
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar