Ini tentang
mimpiku semalam, tentang mimpi-mimpi yang telah membunuhku berulang kali. Aku
terbangun dua kali dan mimpi itu tetap berlanjut. Aku semacam terbangun dari
sebuah perjalanan waktu yang gagal total. Di hutan dengan pohon-pohon pinus
menjulang tinggi itu aku berdiri di depan seorang wanita dengan pakaian serba
hitam, bibir merahnya seolah bersinar di antara redup-redup sekitar. Kami
berdiri berjauhan, mimpi itu terasa begitu nyata, aku bahkan masih mengingat
wajahnya. Seorang wanita yang entah bagaimana bisa merasuki mimpi-mimpiku. Ini
ketiga kali aku memimpikannya. Dan ia benar-benar membunuhku.
Aku selalu bertanya
pada diri sendiri, apakah kita boleh jatuh cinta pada seorang yang belum pernah
kita temui? Apakah bisa mencintai seseorang yang belum benar-benar kita kenal.
Pertanyaan itu terus menggema di kepala, aku masih mencintai seseorang yang
telah mati, yang membuatku menulis tiga buku untuk benar-benar yakin untuk
kembali melanjutkan hidup. Tapi tetap saja, aku masih mencintai seseorang—yang sudah
mati.
Ini tentang
mimpiku semalam, ada semacam debar yang membuatku terbangun dengan keringat
yang menyetubuhiku. Ia wanita yang sebetulnya membantuku keluar dari rasa
sakit, aku bahagia mendengar suaranya saat ia menelponku, atau saat ia
tiba-tiba tanpa kabar dan angin, mengirimiku pesan. Ia memborbardir ruang
obrolanku dengan penuh ceracau yang selalu mampu membuatku hangat dengan
senyum-senyum itu.
Aku mencoba
mengingat apa yang ia katakan dalam mimpi itu, aku berusaha tidak mengabarinya
lepas mimpi itu usai. Aku sungkan, aku tidak berani, aku lemah, aku terlalu
takut mendengar responnya. Aku takut ia tak tertarik atau tak peduli. Tapi
semakin lama aku memendam sendiri, semakin sering mimpi itu terus menggema
minta keluar. Mimpi-mimpi selalu berhasil membuatku menyerah pada realita,
mimpi adalah tempat aku lari dari kenyataan. Mimpi selalu berhasil membunuhku.
Aku bahkan bisa
merasakan angin yang menyentuh kulitku, suara-suara daun yang bergesekkan,
atau suara cuit burung yang menggema di telingaku. Di mimpi itu aku menatapnya
penuh kedalaman, dan wajahnya yang diselimuti kehangatan itu membuatku rindu
ingin menyapanya sekali lagi. Sakit yang diderita bahkan tak lagi kurasa, aku
berpikir apakah aku membutuhkannya? Tapi realita seolah selalu menamparku.
Realita membuatku sadar diri. Bahwa aku hanya pria yang jauh datang dari luar
kehidupannya. Entah perasaan macam apa ini, aku sungguh ingin bertemu
dengannya.
Di mimpi itu, ia
sempat tersenyum sekali, yang membuatku tertular dan membalas senyumnya yang
manis, senyum yang meramalkan kisah cinta kami. Senyum yang membunuhku saat
pertama kali menatapnya. Senyum yang kurindui bahkan sebelum kutemui. Jika ini
yang dinamakan cinta, aku lebih baik mati, daripada terus hidup hanya mampu
melihat dan merasakan kehadirannya dari jauh. Bahkan ketika sakit itu melanda
lagi, aku hanya mengingat namanya, hanya ingin bertemu dengannya. Tapi takdir
seolah mengelabuhiku. Aku perlu sabar katanya. Untuk bertemu dan menuntaskan
perasaan itu. Aku terbunuh oleh mimpiku sendiri.
Wanita ini
sungguh sangat sederhana, ia melihatku dari caranya memahami hidup. Paling
tidak aku mampu menjadi diri sendiri karenanya, aku suka membaca pesan-pesan
lamanya. Di mimpi itu senyumnya begitu romantik, begitu narkotik. Aku masih
berusaha mengingat kata-kata yang ia ucapkan dari bibir itu sebelum aku
terbangun dari tidur yang singkat, namun mimpi itu terasa begitu lama. Yang akhirnya kuputuskan untuk memberitahunya tentang mimpi yang kualami semalam.
Melalui tulisan
ini, kuharap ia membacanya, kuharap ia mampu memahami apa yang sebenarnya
kurasakan, kecemburuan yang membuncah saat ia menceritakan seorang yang ia
cintai, atau perasaan yang membuatku merasa ingin memiliki; Namun realita
selalu membuatku terbunuh, aku terbunuh di dua ruang: Realita dan mimpi
sendiri. Aku harap ia tetap menjadi nafas di tiap pagiku, atau mimpi di tiap
malamku, saat bahkan ia tak mengharapkan kehadiranku.
Aku benci
mimpi-mimpi, aku ingin membunuhnya. Tapi saat mimpi-mimpiku hanya di isi olehnya,
aku rela hidup terus di ruang mimpi. Aku ingin mencumbuinya di sana,
merinduinya di sana, memeluknya di sana, menciumnya di sana. Memilikinya di
sana. Meski itu hanya mimpi, tapi setidaknya aku merasa hidup di sana.
Di detik ini aku
ingat apa yang ia katakan di mimpi itu. “Pagi ini dingin sekali,” lalu ia
tersenyum dan aku terbangun. Dan terus bertanya apa maksud kalimat itu.
Untukmu, Vi. Semoga kamu membacanya.
----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar