Di kepalaku
hidup seorang wanita yang bahkan telah mati sejak cinta pertama kali
dijatuhkan. Wanita itu adalah sosok yang kamu baca di buku-bukuku. Dan hari ini
usianya bertambah. Aku ingin merayakannya dengan dua cara. Pertama, aku akan
pergi ke tempat kali pertama kami bertemu. Saat kami menghabiskan hari berdua,
bercerita tentang sebuah sekolahan yang ingin kita bangun berdua atau tentang
bintang-bintang di langit malam yang menyembunyikan cinta kita. Kedua, menulis
tentangnya sekali lagi. Membagikannya padamu, semoga kamu paham, bahwa pernah
ada sepasang manusia yang saling mengorbankan untuk sesuatu yang adil dan lebih
besar. Dan inilah cerita itu pertama kali dimulai.
Ini bukan cerita
fiksi, ini sepenuhnya cerita tentang aku, Zahid Paningrome. Dan tokoh dalam
semua novelku, Popy. Ia ada, ia seorang wanita yang kukagumi sejak kali pertama
melihatnya duduk bersila di salah satu bangku di sudut sekolah kala itu. Aku hampir
tidak pernah berbicara padanya sejak itu. Untuk urusan memulai aku memang bukan
ahlinya, aku orang yang tidak percaya diri, orang yang tidak bisa memahami
bagaimana awal cinta itu tiba.
Seperti yang ada
di novel Tentang Anna. Ah! Novel itu, aku menulisnya dengan penuh air mata,
bagaimana caramu tidak merasa kehilangan apa pun ketika kamu dipaksa menyusuri
masa lalumu, masa saat kenangan dengan sadar sedang dibuat bersama dengan
seseorang yang bahkan tidak bisa kamu percayai untuk bisa hidup bersamamu. Aku
akan menceritakan beberapa hal yang tidak ada di dalam buku-bukuku. Sesuatu
yang belum pernah kutulis.
Saat itu, malam
di salah satu lorong sekolah, hujan turun. Aku berteduh bersama kekasihku. Ya,
aku mencintai Popy, tapi juga memiliki kekasih. Jangan heran, ini baru awal
dari semua cerita. Saat itu aku dan kekasihku duduk berdampingan, dan di
samping kekasihku Popy duduk, masih dengan tas merahnya bergambar club
favoritnya, Manchester United. Saat kekasihku yang pertama kali kucium bibirnya
di salah satu tangga sekolah dijemput untuk pulang, aku masih duduk menunggu
hujan reda bersama Popy.
Sebenarnya itu
kali pertama kami bertukar senyum dan membicarakan banyak hal. Detik itu aku
tahu, aku mencintainya, dan detik itu juga aku tahu, ada rasa yang ia simpan
untukku. Meskipun mungkin bagimu aku terlalu percaya diri. Tapi ketika kamu
juga berada di sana, kamu akan memahami maksudku, memahami perasaanku dan
kepercayaan-diriku. Awalnya ia bercerita tentang club kesayangannya yang baru
menang, aku tidak betul-betul memahami, namun caranya bercerita membuat seluruh
tubuhku kaku. Ia seperti melupakan dunia untuk beberapa saat, dan hanya
menyisakan kami di antara hujan yang murung malam itu.
Kamu tahu apa
yang aku lakukan setelah ia berhenti cerita? Ya, aku mengeluarkan seluruh hal
yang ada di pikiranku tentangnya, malam itu aku berlaku jujur pada diriku
sendiri, bahwa ia—wanita yang ada di sampingku malam itu, telah lama menyita
perhatian dan pikiranku. Aku tak mengatakan bahwa aku cinta, aku hanya jujur
pada apa yang kurasa setelah selama ini. Tahu apa responnya? Ia hanya diam,
sampai hujan berhenti lalu ia pulang, meninggalkanku tanpa berpamitan. No, ini
bukan karangan, ini nyata terjadi. Kalau kamu mau menanyakannya pada mantan
kekasihku, kamu akan sepenuhnya percaya, bahwa kami memang berada di sana malam
itu.
Sejak kejadian
itu aku tak berani menyapanya, aku merasa melakukan kesalahan besar. Aku selalu
mencoba menghindarinya, namun ia, wanita itu selalu tampak santai, tatapannya
masih lembut dan meneduhkan. Sampai suatu hari, ia mengajakku bertemu, setelah
meminta nomor teleponku melalui akun instagramku. Menurutmu apa yang aku
rasakan kala itu? Aku juga menuliskan bagian ini di Tentang Anna. Aku tak bisa
merasakan apa-apa saat itu. Aku hanya senang, Aku harap kamu mampu memahami
perasaan ini, perasaan saat orang yang kamu cintai balik memahamimu.
Yang aku tahu,
aku penasaran apa yang membuatnya berani mengajakku, memulai lebih dulu.
Jawaban itu kudapatkan saat kami duduk berdua di salah satu Starbucks di salah
satu mall yang ada di Semarang. Ia berencana mengajakku untuk menulis cerita
bersama. Ini seperti harta karun yang kamu temui di dalam rumahmu sendiri, aku
tak percaya bahwa ia adalah penikmat tulisan-tulisan di blogku. Saat itu aku
sudah satu tahun menulis di blog. Ia menceritakan kecintaannya pada salah satu
cerpenku, Senja Pertama. Yang aku ceritakan juga di Tentang Anna.
Seseorang yang
memahami apa yang kamu sukai, mendekatimu dengan sesuatu yang juga kamu sukai.
Saat itu aku merasa keberuntungan ada di pihakku. Pertemuan kami di Starbucks
hari itu hampir terjadi selama tujuh jam. Sesekali membahas soal cerita,
sesekali ia berhenti untuk menanyakan sesuatu padaku, pun sebaliknya. Kami
seperti sedang mendikte satu sama lain, seperti sedang meraba perasaan
masing-masing. Rasa itu nyata, kami seperti sepasang kekasih yang sedang
dimabuk cinta, seperti dunia hanya milik berdua.
Aku tidak akan
banyak menceritakan apa yang terjadi setelahnya, situasinya rumit. Dan lagi aku
telah menulisnya semua di novelku. Ia memiliki kekasih, tapi ia mencintaiku,
aku saat itu tak sedang terikat oleh siapa-siapa. Aku juga mencintainya.
Pertemuan itu terjadi setahun setelah pertemuan di bawah hujan malam itu,
hampir sembilan bulan setelah aku dan kekasihku putus. Bayangkan, selama itu
kami tak saling bicara dan saling menghindar, lalu ia menyerah dengan semua
kekonyolan kami. Lalu memilih untuk mengakhiri dan memutuskan untuk bertemu.
Mungkin kamu
bertanya di mana konfliknya sehingga membuatnya pergi bahkan belum juga
kembali. Oke. Aku ingin ia menjadi kekasihku, tapi ia hanya ingin hubungan yang
tak terikat. Ia mencintaiku, aku juga. Akhirnya kami memutuskan untuk menjalin
kasih namun tak terikat. Mugkin kamu pikir ini perselingkuhan. Bukan! Aku punya
ceritaku sendiri tentang menjadi orang ketiga yang juga kuceritakan dalam
Tentang Anna.
Saat pertemuan
kami yang kedua di Starbucks yang sama, ia menceritakan sesuatu yang sedikit
membuatku kaget. Pertama, ia menceritakan tentang aku pada kekasihnya, kedua ia
mengidap semacam penyakit yang karena itu ia putus dengan kekasihnya. Aku juga
menceritakannya di bukuku, Tentang Anna. Yang waktu itu aku ceritakan ia
menangis dan takut jika kami bersama, aku akan melakukan hal yang sama seperti
kekasihnya itu. Aku sekuat tenaga meyakinkannya, bahwa aku tak mungkin
melakukan hal hina seperti itu. Bahwa aku mencintainya apa adanya, tak berharap
apa pun dari dirinya. Aku mencintai pikirannya, matanya, dan hatinya. Tak ada
hubungan transaksional yang aku pikirkan sama sekali.
Ya. Itu akhir
kita bertemu, sampai pelan-pelan ia menjauh, mulai dari hanya membalas chatku
tanpa ingin bertemu, mulai tak membalas chatku, mulai memblockir semua social mediaku.
Sampai tak ada kabar sedikit pun. Saat itu mungkin kamu bisa menyebutnya: Aku
mulai gila, saat itu kupikir aku butuh orang lain untuk membantuku move on.
Namun setelah aku coba berkali-kali, aku terus saja gagal. Tak ada satu pun
yang mampu memahamiku seperti ia memahamiku.
Aku mengubah
pikiranku, akhirnya memutuskan menghidupkannya di buku-bukuku daripada harus
move on dan terus saja gagal. Aku yakin kamu tak akan mampu membayangkan
bagaimana rasanya menulis seseorang yang kita cinta, namun tak bisa kita miliki.
Yang meninggalkan kita seperti sampah. Ya. Aku masih terharu setiap membaca
tulisanku sendiri, persis saat aku menuliskannya. Kenangan membuat kita menjadi
lebih sensitif, lebih mudah membuat kita sanggup memahami manusia.
Mungkin kamu
pikir semua sudah selesai saat aku menulis tentangnya karena orang akan bahagia
ketika melihat dirinya hidup di karya orang lain. Tidak! Tidak semudah itu,
sampai tulisan ini dibuat Popy tak pernah lagi menghubungiku. Aku? Aku tak
pernah tahu bagaimana kabarnya. Aku telah menarik diri untuk tidak lagi
mengganggunya. Aku bahkan tak tahu apakah ia sudah membaca buku-bukuku atau
belum. Semoga. Aku merasa mungkin ia tak suka saat aku menulis cerita cinta di
antara kami, lalu menjadikannya tokoh dalam certiaku. Kalau memang gitu aku
hanya ingin meminta maaf melalui tulisan ini, di hari tepat saat usianya
bertambah. Aku ingin meminta maaf, aku telah salah menulis cerita.
Tapi bukankah
fiksi mengizinkan kita untuk menghidupkan segala realita yang tidak relevan
dengan hidup kita? Maaf, saya menulis cerita yang salah. Maaf kamu tetap hidup
di bagian hatiku paling dalam, akan kusimpan, tak akan kubuka, lagi. Lalu kamu
mungkin bertanya, sekarang perasaanku jatuh pada siapa, pada wanita macam apa.
Jawabannya mudah, salah satu wanita yang membaca habis tulisan ini sampai pada
di titik terakhir. Kamu kah itu?
--i love you, R--
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar