Aku duduk bersebelahan dengan seorang perempuan yang
terlihat seumuran denganku di dalam pesawat yang menuju ke Bali. Aku tersenyum
ketika dia menemukan nomor tempat duduknya setelah bingung mencari dan
berkali-kali melihat boarding pass di tangannya. Setelah beberapa detik dia
meletakkan barang bawaannya di bagasi atas, dia duduk dengan senyum antusias
yang mendarat di mataku. Gincu merah muda di bibirnya terlihat cocok dengan
bentuk bibir dan kulit putihnya. Warna matanya terlihat terang tanpa garis merah
yang biasanya ada di pinggir bola mata.
“Hai”
tangannya antusias menjabat tanganku.
“Oh,
hai” aku tersenyum menyambut jabat tangannya.
“Mau
liburan?” perempuan itu melepaskan jabat tangannya.
“Iya,
Ubud.”
“Ubud?
Sama dong, aku juga mau ke sana.”
“Liburan
juga?”
“Iya,
sekalian jenguk nenek. Sendirian aja?”
“Iya
nih, sendiri. Kamu juga?”
“Tadinya
sendiri, sekarang udah duduk berdua sama laki-laki yang sama-sama mau ke Ubud,”
dia tertawa kecil.
“Haha,
ohiya aku Leo” aku menjabat tangannya.
“Aku
Carina” dia tersenyum.
Carina
memakai T-Shirt bermotif garis horizontal berwarna putih—biru yang ditekuk di
ujung lengan T-Shirt. Memakai celana jeans yang juga ditekuk di ujungnya.
Celana jeans yang berlubang di beberapa bagian itu sedikit menggangguku, paha
putihnya tidak bisa kupungkiri terlihat oleh mataku. Carina memakai sepatu dr.
Martens warna merah maroon dengan tiga lubang tali, tanpa kaos kaki. Membawa
tas hitam kecil, jam tangan cassio warna cokelat dan beberapa gelang menghiasi
tangan kirinya. Setelah beberapa menit dalam keheningan dan saling diam, Carina
mengambil ipod dan earphone hitam dari tasnya.
“Suka
musik apa?” tanya Carina.
“Relatif,
tapi paling suka musik jazz sih.”
“Louis
Amstrong?” Carina memakai earphone hitamnya.
“Iya,
tapi aku paling suka Jimy Rushing.”
“Really?
Jimy Rushing? Nenek aku suka banget sama Jimy Rushing” Carina melepas earphone
hitamnya.
“Ohiya?”
“Iya,
gara-gara nenek, aku juga jadi suka Jimmy Rushing.”
“Aku
masih sering lihat perfomancenya di youtube, waktu dia duet sama Dizzie Gillespie
Quintet.”
“Aku
tahu! Blues After Dark kan?” Carina antusias.
“Iya,
Perancis 1959” aku tersenyum menatapnya.
“Gendut,
botak, hitam manis, suaranya bagus gemesin kalo lihat dia jalan di
video-videonya” Carina tertawa lepas.
“Haha,
sssstttt. Jangan ketawa keras-keras,” telunjukku mengacung di depan bibir.
“Ohiyaya,
ssstttt,” telunjuk Carina ikut mengacung di depan bibir.
“Mau
dengerin lagi?”
“Boleh”
Jawab Carina.
Aku
mengambil Ipad di tasku, lalu membuka file video yang sudah kudownload. Memakai
earphone di telinga kiri lalu memakaikan earphone di telinga kanan Carina.
“Terima
kasih” Carina membuka rambut yang menutup telinganya, menggiringnya ke belakang
telinga.
“Sama-sama,
Carina.”
Aku
baru mau menekan tombol play, Carina sudah mendahuluiku. Menekan tombol play
lalu mencubit jariku. Aku hanya tersenyum, Carina juga. Aku dan Carina melihat
video itu bersama, hanya berdua. Sesekali Carina berkomentar lucu soal tubuh
Jimmy Rushing yang gendut. Tangan kiriku yang menopang punggung Ipad mulai
goyah, “Capek, Leo?” Tanya Carina. Tangan kanan Carina ikut menopang punggung
Ipad tepat di bawah tanganku. Tangan kami bersentuhan, beberapa detik
setelahnya jari-jari Carina mulai bergerak di punggung jari-jariku. Aku
meliriknya yang tersenyum dengan matanya yang masih terpaku pada video.
Jari-jari Carina masih bergerak mengelus jari-jariku. Aku membiarkannya.
“Nah,
selesai juga videonya,” kataku, Carina menarik tangannya.
“Yah,
kok udah selesai” keluh Carina.
“Haha,
emang cuma segitu,” aku memasukan Ipad ke dalam tas.
“Sekarang,
kita dengerin lagu-lagu yang ada di Ipodku ini ya” Carina menunjukkan Ipodnya
padaku.
“Boleh,
kita lihat seberapa bagus musikalitasmu.”
“Haha,
oke. Kita lihat bareng, Le—O” balas Carina.
Carina
memakaikan earphone di telinga kiriku, lalu aku memegang tangannya membantu
memakaikan earphone, aku sengaja melakukannya, agar Carina merasakan apa yang
aku rasakan ketika ia menyentuh tanganku tadi.
“Udah?”
tanya Carina.
“Play,”
jawabku.
“Lagu
pertama nih, Leo,” Carina tersenyum menatapku.
“Asiik,
Billie Holiday.”
“Gloomy
Sunday, Leo. Lagu wajib sebelum aku tidur.”
“Jadi,
sekarang kamu mau tidur?” tanyaku bingung.
Belum
Carina menjawab pertanyaanku, matanya sudah terpejam. Aku masih terus
mendengarkan lagu dari Ipodnya. Sudah lagu keenam setelah Gloomy Sunday milik
Billie Holiday berhasil membuat Carina tertidur. Pundakku berubah hangat,
melihat kepala Carina tersandar halus. Aku melihat Carina nyenyak dalam
tidurnya. Lima belas menit lagi pesawat akan mendarat. Aku masih membiarkan
pundakku dikuasai Carina. Jari-jariku menyentuh rambutnya, keningnya, pipinya,
bibirnya. Carina terbangun, membuatku cepat-cepat menarik tangan.
“Aku
ketiduran ya?” tanya Carina.
“Iya,
Carina. Billie Holiday berhasil bikin kamu tidur.”
“Haha
kamu, iih. Berapa lama aku tidur?”
“Setengah
jam, mungkin,” aku tak yakin.
“Lama
juga ya.”
“Kita
udah mau mendarat, Carina. Jangan lupa safety belt.”
“Thank
you, Leo.”
Pesawat
sudah mendarat, Aku dan Carina turun dari pesawat bersama. Sebelum mengambil
barang aku meminta nomor handphone Carina. Carina memberikannya dengan senang
hati.
“Kamu
dijemput siapa, Leo?” tanya Carina.
“Sepupuku.
. . Kamu Carina?”
“Itu”
Carina menunjuk sesorang yang melambaikan tangan ke arahnya, “Suamiku. Aku
duluan ya, Leo.”
-----