Film
dibuka dengan kebiasaan tokoh utama, Richard. Gambar itu memberitahu kita bahwa
tokoh ini terjebak pada rutinitas pagi hari, bangun, “galer”, mengecek ponsel,
menyapa tetangga. Gambar juga menunjukkan ruangan yang terlihat berantakkan.
Kedekatan-kedekatan semacam ini yang akan penonton lihat sepanjang film,
pendekatan sederhana tanpa perlu banyak urusan artistik yang rumit tapi menjadi
efektif dalam mendukung performa film.
Lalu,
salah satu yang saya suka, adalah pendekatan kamera dalam adegan selanjutnya.
Saat Richard & teman-temannya keluar dari sebuah tempat nobar bola. Kita
sebagai penonton benar-benar masuk dalam scene itu, karena kamera yang
memosisikan diri menjadi “manusia.” Long shot semacam itu agaknya sedikit sulit
apalagi dengan melibatkan beberapa karakter dalam satu frame. Pendekatan ini
sekali lagi untuk membuat penonton merasakan kenyataan cerita yang relevan dan
dekat dengan keseharian kita.
Kemudian
pelan-pelan Love for Sale mengajak kita mengenali dunia Richard, ia tidak
buru-buru untuk mencapai inti, atau konflik. Film ini menempatkan penonton
sebagai teman, ia memeluk kita perlahan, memberi kehangatan yang pelan-pelan dan
tidak mungkin kita tolak karena kelembutannya dalam bertutur—mengutarakan cerita.
Kita ditegaskan, bagaimana sifat tokoh Richard. Seolah film ini ingin
menyelesaikan urusan sifat dan karakter tokoh Richard sebelum kita benar-benar
dibawa masuk pada inti cerita.
Kedalaman
Love for Sale dalam bercerita tidak saja tercermin dari uniknya tokoh Richard
tapi juga intimidatifnya tokoh Arini, yang membuat saya menjadikan tokoh Arini
sebagai salah satu tokoh perempuan favorit dalam sinema. Richard dan Arini
menjadi entitas yang kuat dan berwarna, keduanya adalah oase dalam film
Indonesia yang mungkin sebelumnya tidak pernah kita temui.
Ibarat
pria yang beranjak move on, Love for Sale adalah film yang rentan, bebas, dan
loveable. Hal itu sekaligus ditunjukkan dengan terang dan nyata lewat tokoh
Richard dan Arini. Rentan karena film-film seperti ini (yang mampu menemukan
bentuknya) bisa sangat disukai dan sangat tidak disukai, film ini akan memilih
penontonnya sendiri. Bebas karena ia tidak menyimpan dendam dan luka pada apa
pun; film ini tidak berusaha mempropagandakan suatu moralitas yang sering
banyak kita temui di film-film kita.
Loveable;
saat gambar menunjukkan Arini yang tertidur di sofa dan melihatkan jenjang kaki
Arini, Richard menutupnya dengan selimut. Ini relevan, sangat nyata, bahwa
orang-orang yang lama menyendiri (sulit move on) akan sangat “loveable” pada
lawan jenis. Ia menjaga benar-benar sesuatu yang berusaha ingin dia gapai,
padahal bisa jadi itu resiko. Tapi begitulah Love for Sale, ia tidak pretensius—apa
adanya.
Kita
dihadapkan pada kisah cinta yang sebetulnya abstrak. Richard yang digoncang
oleh tokoh Arini. Dan Arini yang sangat unik. Tapi keabstrakkan itu ditutupi
dengan pergulatan batin di antara keduanya, sehingga kita lupa bahwa sebetulnya
hubungan yang dihadirkan sangat abstrak. Kisah cintanya mengalir apa-adanya
tanpa kepura-puraan, tanpa meloncat untuk menemukan inti cerita. Ini menjadi
menyenangkan karena kita sebagai penonton dibikin nyaman, tenang, dan jatuh cinta.
Cara-cara
film menunjukkan lamanya 45 hari sebagai tugas Arini dari Love.Inc juga
ditunjukkan sangat baik tanpa dipaksa untuk masuk dalam satu frame utuh.
Seperti Raka yang lupa mengganti tanggal, atau Richard yang bertanya tanggal
pada Pak Syamsul. Intinya, film ini tidak buru-buru dalam menyampaikan
detail-detail cerita. Tanpa perlu bertentangan dengan aspek-aspek bercerita.
Juga
komedi di Love for Sale sangat segmented, saya suka saat adegan Richard datang
ke rumah orang tua Arini di Depok yang kemudian menjadi tempat shooting. Saat
Richard bertemu ayah Arini, dan dialog di dalamnya seolah meruntuhkan batas
antara cerita dengan produksi filmnya sendiri, yang juga dipertegas dengan
setting (keriwehan pembuatan film). Dialognya cerdas, menjadi komedi yang
sangat “sialan” untuk orang-orang yang mampu menangkap maksudnya.
Lalu,
film memasuki babak akhir, saat Arini tiba-tiba menghilang entah kemana,
Richard menjadi sangat polos mengira itu hanya candaan Arini. Cerdasnya Love
for Sale, menghentikan cerita tentang Arini di titik ini, tidak lagi ditambah
apa pun, membuat kita sebagai penonton ikut masuk merasakan kehilangan yang
dialami, Richard. Paruh akhir film benar-benar seperti dongeng pegantar tidur,
ia manis, indah dan cantik. Menyelami kerentanan Richard yang akhirnya memilih
berdamai dengan diri sendiri, dengan simbol memberikan barang-barangnya pada
Jaka, Raka, dan Syamsul. Bahwa siapa pun yang selesai dengan perkara move on,
hidupnya akan bebas dan merdeka. Ditunjukkan film ini melalui Richard yang
berkelana jauh menggunakan motor impiannya.
Tapi,
Love for Sale bukan tanpa kekurangan, yang paling kentara adalah ketika saya
tidak mampu mendengar dengan baik beberapa dialog dalam film ini, entah karena
si tokoh yang terlalu cepat berutur atau proses shooting dan editing suara yang
kecolongan. J
#LoveForSale
#BanggaFilmIndonesia
Spoiler banget tulisanya hahah,
ReplyDelete