Pikirkan kembali apa yang baru saja terjadi.
Apakah kamu mampu mengingat kejadian yang telah berlalu dalam hitungan detik?
Seperti gambaran yang berkeping layaknya puzzle muncul sekelebat di pikiranmu.
Bayangkan bahwa hal-hal itu terus terjadi dan tidak akan pernah berhenti
menghantuimu. Kamu akan menyebutnya sebagai apa? Mimpi yang nyata atau imaji
yang tersembunyi. Adakalanya kita memang perlu memberi waktu pada apa saja yang
awalnya tidak pernah kita hiraukan. Konstruksi pikiran manusia terjadi pada
bentuk-bentuk yang abstrak, tidak mampu diterjemahkan dalam bentuk kata atau
gambar, untuk itu kita perlu bertanya, kenapa dan mengapa itu ada.
Bahkan aroma tanah yang tersiram hujan deras
bisa menjadi aroma yang paling dirindukan, daripada sekedar aroma parfum
kekasih yang biasanya kita hirup dalam rentan jarak kelembutan pelukan. Apakah
kita bisa berjarak pada apa yang sebenarnya kita inginkan untuk selalu dekat?
Apakah kita mampu memberi jarak? Atau apakah jarak mampu menggugurkan rindu
yang ditanam beratus-ratus kilometer. Sejak kita dilahirkan, sudah ada
seseorang yang selalu merindu. Bukan teman, sahabat atau kekasih. Merekalah
yang terdekat, yang sibuk merindu, tertawa melihat raut muka yang entah
menafsirkan apa.
Lalu dimana kita sekarang? Ada di pikiran kita
sendiri? Atau ada di pikiran orang lain? Orang-orang yang berteriak minta
dikasihani padahal minta diperhatikan. Banyak manusia tidak bisa menciptakan
pikirannya sendiri, mereka sibuk terpaut pada pikiran orang lain, mencoba
menggali dan mendalami apa yang ada di dalamnya, meski tidak paham betul apa
yang mereka cari. Ada sebab mengapa manusia menjadikan dirinya ladang sampah
bagi orang-orang sekarat.
Dunia memang tempat paling liar, kita tidak
pernah bisa menjadi sama, selalu ada perbedaan dalam setiap jengkal fisik
bahkan pikiran dan hati. Kenapa Tuhan menciptakan kita dalam perbedaan yang
sangat bercabang, padahal sejatinya zat yang Maha Agung itu bisa menjadikan
kita sama. Selalu ada alasan dibalik setiap kejadian, di setiap pilihan-pilihan
yang ditetapkan. Apakah ada yang memikirkan hal itu? Sejujurnya aku selalu
sibuk memikirkan Tuhan. Sedang apa dia sekarang, bagaimana kesehatannya melihat
manusia sibuk menafsirkan apa yang sebenarnya tidak perlu ditafsirkan. Tuhanku,
dimana kamu sekarang?
Hal-hal yang terjadi belakangan ini benar-benar
menguras tenaga dan pikiran setiap orang. Meski kita bisa saja menutup telinga,
kita tetap akan mendengar jika mereka terus berteriak dan minta didengar. Atau
bahkan ketika kita menutup mata, apa yang kita lihat setelahnya? Hanya
kegelapan, jalan buntu yang entah mengarah kemana. Atau jika kita menutup
mulut, apakah kita akan membiarkan mereka yang merusak untuk terus bicara dan
didengar? Kita menjadi serba salah. Tapi kita tidak boleh membiarkan, karena kehancuran
bermula dari hal-hal yang dibiarkan.
Perlu kita ketahui, bahwa pada dasarnya kita
semua ini terhubung—terkoneksi. Tapi banyak orang cenderung tidak memercayai
hal-hal yang terlihat tidak rasional. Padahal, hal semacam itu mungkin saja
ada. Sesuatu yang tidak terlihat bukan
berarti tidak ada. Kita hanya perlu merasakannya, mendengar dan melihatnya
lebih jauh—lebih dekat. Kita benar-benar terkoneksi. Rasakan lehermu yang baru
saja bergetar, seperti merasakan sentuhan lembut, itu bukan angin, itu sentuhan
Tuhan. Tidakkah kau merasakannya?
Akhir dari semua prasangka yang ada hanya akan
menjadi abu yang dibiarkan tertiup angin atau basah oleh hujan. Masihkah kita akan
sibuk pada hal-hal yang kita percayai? Percaya Tuhan itu ada, bukan berarti
kamu bisa merasakan bahwa Tuhan memang benar-benar ada. Kita begitu berbeda, dan persamaan hanya dibuat untuk menyatukan.
Tapi, apakah persamaan itu baik? Tidak ada yang begitu jelas mengetahui
perbedaan antara baik dan tidak baik. Kita bisa saja melihat hal baik padahal
sebenarnya tidak, begitu juga sebaliknya. Hari ini semuanya menjadi relatif.
Ada jurang pemisah antara berpikir dan merasa.
Kesibukan mana yang akan kau pilih. Sibuk berpikir? Atau sibuk merasa? Kita
tidak bisa memilih keduanya untuk berjalan beriringan, karena mereka dipisahkan
dalam bentuk yang tidak sama, dalam pergulatannya sendiri-sendiri. Dalam
permasalahannya sendiri. Lalu, sempatkah kita merenungkan apa yang telah kita
pilih? Bagaimana jika pilihan kita sejalan dengan pikiran namun tidak dengan
perasaan kita? Bagaimana jika pilihan kita sesuai dengan apa yang kita rasa,
tapi tidak dengan apa yang kita pikirkan. Mana yang perlu kita pilih?
Adakah sesuatu yang dapat kita percaya melebihi
Tuhan itu sendiri? Aku percaya pada kamu yang telah membaca sejauh ini. Aku
percaya bahwa kamu juga merasakan hal aneh ini. Seperti ada sesuatu yang sedang
mengawasi setiap langkah kita. Apakah itu menjadi penghalang atau pembuka untuk
mengetahui apa yang akan terjadi berikutnya. Aku percaya bahwa kamu juga
percaya karena telah membaca kepercayaan yang aku bangun lewat 711 kata di
titik ini. Aku menulis ini dalam keadaan tidak sadar, Tuhan seperti
membangunkanku lalu menggerakkan tanganku. Aku lelah menulis cerita, aku lelah
menulis puisi, aku lelah menulis. Tapi, apakah aku perlu berhenti? Bahkan jika
aku berhenti sejenak saja. Hal itu akan menarikku kembali, atau mengganggu
pikiranku dengan suara-suara keyboard.
Kini, kita telah memasuki 762 kata, dan kamu
mampu bertahan pada ketidakjelasan maksud dari tulisan ini. Ikuti saja, lalu
kau pikirkan setelah selesai. Selalu ada makna dari setiap kata yang
dituliskan. Ada sebab kenapa kamu membaca tulisan ini, sejatinya kita adalah
mesin waktu bagi pikiran kita sendiri. Kamu bisa kembali pada masa lalu melalui
pikiranmu, tapi sayangnya tidak bersama hatimu. Apakah itu adil? Aku bilang ini
adil, semua punya tugasnya masing-masing, semua punya tujuannya masing-masing.
Jika hingga detik ini kamu belum menemukan apa tujuanmu, mungkin saja kamu
adalah makhluk yang paling akhir untuk dipikirkan Tuhan.
Kisah hidup adalah pelajaran terakhir yang akan
terus ada dan memaksamu untuk belajar, terus belajar. Pelajaran hidup adalah
tentang bagiamana air mata menetes pada detik ini. Kita adalah makhluk-makhluk
yang tesesat, namun kita diberi pikiran oleh Tuhan untuk menemukan jalan keluar—jalan
pulang. Secerdas apapun kamu, jika tidak pernah belajar pada apa saja yang
telah terjadi di hidupmu, kamu tetap saja menjadi manusia paling hina diantara
yang lain. Manusia yang merugi.
Aku tidak bermaksud menggurui. Aku hanya resah
pada kebanyakan orang yang belakangan ini mencoba menggurui semua orang.
Berlagak paling tahu segalanya, paling pintar dan paling peduli. Untuk hal ini,
kita benar-benar perlu memakai hati kita untuk merasakan kebenarannya. Aku
percaya bahwa hati adalah bagian dari koneksi kita pada Tuhan. Tuhan tidak
begitu saja memberitahumu bahwa dia menghuni inti jantung dan perasaanmu. Tuhan
suka bermain-main, mengajakmu untuk berkeliaran di pikiranmu sendiri. Tuhan
adalah dirimu sendiri, dia selalu menjadi bagian dari kita. Jika ada orang yang
sibuk bertanya apakah Tuhan itu ada? Jawab saja, Tuhan itu tidak ada, karena
kamu tidak mencarinya.
Aku ingin berhenti pada kata ke 1030. Tapi Tuhan
masih memaksa jemariku untuk terus berkeliaran di tuts-tuts keyboard. Pada kata
ke 500, aku telah meneteskan air mata, menangis—merasakan kehadiran-NYA disini.
Aku tidak percaya pada apa yang aku alami detik ini, semua terjadi dalam
hitungan detik. Aku melihat matamu yang ikut berkaca karena juga merasakan
tentang Tuhan yang memeluk kita dari belakang. Adakah sedetik saja kita
bertanya, kenapa aku harus membaca ini? Adakah sedetik itu muncul. Bahkan
ketika kata itu ditanyakan, kamu tetap tidak bertanya pada diri sendiri, kenapa
harus membaca ini.
Begitulah tugas kata dan bahasa. Menjadi salah
satu perpanjangan tangan Tuhan. Aku pernah bertanya, apakah Tuhan berbahasa?
Apakah Tuhan mengetahui bahasa yang kita pakai sehari-hari. Tuhan langsung
menjawabnya di otak kita detik ini juga. Bahwa dia Maha Mengetahui. Sekarang,
dalam wujud apa kita bisa melihat Tuhan? Sejujurnya aku tidak pernah bisa
melihatNYA. Tapi kita selalu tahu bahwa Tuhan melihat kita dengan jelas.
Perbatasan antara imajinasi dan pikiran bermula dari apa yang kita pikir tidak
ada namun ternyata begitu jelas berkeliaran di sekitar kita. Bahkan terkadang
masuk ke ruang mimpi kita.
Bantu aku mencari kata terakhir untuk tulisan
ini. Sudah 1213 kata yang telah kita jelajahi bersama. Rasanya aku tidak ingin
berhenti. Aku lelah pada drama manusia yang tidak berjiwa, mereka semua memaksa
menjadi pemeran utama. Pada akhirnya aku memilih tenggelam pada pikiranku, untuk
menuliskan setiap jengkal yang meminta dipungut untuk dirangkai. Daripada aku
harus sibuk meladeni drama yang entah berujung kemana. Ini bukan tentang siapa
yang benar dan siapa yang tidak benar. Ini tentang bagaimana kita harus
bersikap. Menjadi diam adalah pilihan paling tepat. Bukankah itu yang dilakukan
Tuhan sejak semuanya ada?
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar