“Film tanpa statement (pernyataan) lebih seperti roti
tawar jamuran. Film minim riset dan minim refrensi juga lebih seperti makan
roti tawar gak pakai isian; gak pakai mentega, selai, meses.”
Untuk saya;
rasanya tidak mungkin memakan roti tawar yang sudah jamuran. Seperti yang
dilakukan Ayu (Ariel Tatum) pada awal Film Selesai dalam adegan ketika Ayu
memberikan korelasi bahwa pernikahan itu seperti memakan roti tawar, bahwa
mentega bisa habis digantikan oleh selai. Bahwa roti tawar bisa jamuran dan
berujung Ayu membuangnya ke tong sampah.
Pun roti
tawar bisa dimakan langsung, namun mungkin kita bisa setuju akan lebih nikmat
jika dimakan pakai isian; meses, mentega, selai, dll. Untuk saya; rasanya ada yang kurang ketika
harus memakan roti tawarnya saja. Itulah yang saya rasakan saat menonton Film
Selesai.
Film Selesai
diawali dengan treatment handheld camera dengan tangkapan suasana pagi hari
yang nyala terang menembus jendela rumah Ayu dan Broto (Gading Marten) dengan
kabut tipis putih sebagai pengantar adegan awal yaitu Ayu dan pantat Broto yang
menggunakan celana dalam merah, bangun dari tidurnya.
Pilihan
estetika ini buat saya justru sangat mengganggu, bukan tentang warna dalam film
Selesai yang menyala terang, namun lebih kepada eksploitasi tubuh yang terlihat
dari pantat Broto yang sebetulnya tidak terlalu penting masuk ke dalam film.
Hal itu juga terulang ketika frame mempertontonkan pantat Broto yang masuk ke
bilik mandi. Saya bertanya, apakah pilihan estetika atau citra visual tersebut
lebih penting dari cerita yang ingin disampaikan?
Elemen-elemen
dalam film harus bisa mendukung cerita, mendukung apa yang dimaksud pembuatnya,
gak hanya pilihan estetika yang berdasarkan perasaan pembuatnya saja. Estetika
tanpa maksud lebih seperti kesia-siaan yang tampaknya dipaksaan jika itu ada di
dalam film. Padahal sinematografi atau frame bisa jadi statement personal
pembuatnya, namun dalam Film Selesai saya tidak melihat pembacaan itu ada. Saya
hanya melihat nafsu estetika yang secara membabi-buta menempati frame-frame
dalam film Selesai hingga film itu selesai.
Saya cukup
tidak mengerti ketika Tompi sebagai sutradara mengaku tidak suka gambar atau
frame-frame yang flat, namun yang saya lihat frame-frame dalam film Selesai kesemuanya
justru flat, karena tidak ada frame yang sifatnya membantu film dalam mencapai
maksud pembuatnya. Apalagi skenarionya bisa dibilang tidak menyampaikan argumen
/ statement apapun.
Pertunjukkan
pantat Gading bagi saya adalah eksploitasi tubuh, apalagi dalam sebuah space di
twitter kurang lebih Tompi mengajak kita untuk menonton film Selesai salah
satunya karena Gading sampai mau menampilkan pantatnya dalam film. Pernyataan
itu justru makin menguatkan saya, bahwa pilihan gambar itu hanyalah nafsu
sutradara dalam pencapaian estetika. Tidak ada maksud untuk mencapai level
penceritaan yang utuh ketika gambar itu tampil di dalam film.
Banyak film
yang menampilkan pantat karakternya, namun tampilan itu dimaksudkan untuk
menguatkan argumen / statement atau paling tidak melancarkan narasi yang sudah
dibangun sebelumnya. Ingatkah saat pantat Ben Affleck bahkan penisnya tampil di
salah satu adegan dalam film Gone Girl (2014) ? Apa maksud adegan itu? Mengapa
adegan itu harus sampai tampil dalam filmnya? David Fincher bukan tanpa alasan,
adegan itu dimaksudkan dalam rangka niat Nick Dunne yang diperankan Ben Affleck
mencoba mengkonfrontasi atas apa yang terjadi, setelah menghilangnya Amy Dunne
(Rosamund Pike). Ketelanjangan itu, dimaksudkan sebagai “ruang aman” bagi tokoh
Nick dan Amy.
Eksploitasi
tubuh lagi-lagi terus tampil dalam film, termasuk saat Ayu harus berbaring
dengan mengangkat kaki ke atas, menempel pada tembok, dalam usaha Ibu Mertua
(Ibu Marini) memberitahu cara cepat agar Rahim mudah dibuahi. Kamera menyorot
dengan jelas bentuk dan lekuk tubuh Ayu, dan frame itu bertahan pada beberapa
detik.
Saya
sungguh tidak mengerti, untuk apa angle dalam frame itu tampil, karena saya
sama sekali tidak menangkap apa yang hendak disampaikan Tompi sebagai
pembuatnya melalui tampilan gambar tersebut. Juga saat adegan Yani merebahkan
diri di kasur kamarnya saat ia selesai dalam urusan dapur dan siap berhubungan
seks dengan Bambang (Imam Darto). Kamera menyorot dari atas tubuh Yani yang
kedua kakinya terbuka. Tampilan ini muncul dalam kurun waktu beberapa detik
lebih lama dari sebelumnya. Apa bedanya dengan Michael Bay yang dikritik atas
objektifikasi lewat eksploitasi tubuh Megan Foxx dalam film Transformers yang
notabene itu film robot? Satu kemungkinan yang terlihat jelas adalah barangkali
bagi pembuatnya eksploitasi tubuh semacam itu adalah dagangan yang laku bagi
kebanyakan penonton kita.
Eksploitasi
tubuh semacam ini erat kaitannya pada penulisan skenario yang buruk dan tampak
ditulis tanpa riset juga tanpa refrensi. Dan itu dibenarkan oleh Imam Darto
sendiri sebagai penulis skenario dalam satu kesempatan obrolan space di
twitter.
Bagi saya
Film Selesai sepenuhnya adalah male fantasy dari Imam Darto yang sejalan dengan
itu diamini oleh Tompi lewat treatment gambar dan citra visual yang saya
sebutkan tadi. Dan oleh karena itu saya bisa bilang film Selesai adalah film
jahat. Ia bukan hanya mengucilkan sudut pandang perempuan tentang apa itu
perselingkuhan yang menjadi tema film, juga nyaris tidak ada perdebatan moral
yang terjadi di antara tokohnya. Bisa dipahami karena penulis skenarionya pun
tidak riset mengenai hal itu, terlebih juga minim refrensi.
Male
fantasy itu terlihat juga dari pertemuan Ayu dengan Broto yang ternyata berawal
dari partner kerja (Ayu sebagai sekretaris) di akhir film, atau di awal film
saat Ayu mengambil vibrator dan pergi ke kamar mandi, atau saat Bambang memakai
lotion untuk memuaskan diri dengan melihat Ayu dari dalam jendela juga
perselingkuhan yang terjadi di dalam mobil antara Broto dan Anya (Anya
Geraldine) Rasa-rasanya fantasi liar itu sebetulnya tidak penting-penting amat
untuk masuk ke dalam film. Karena tidak memiliki pengaruh apapun dalam plot
cerita filmnya. Kecuali film itu diniatkan sebagai film porno.
Tompi
sebagai sutradara terlihat bekerja keras untuk menampilkan gambar-gambar yang
cantik. Usaha untuk mencapai estetika tertentu dengan citra-citra visual yang
dimaksudkan untuk mendramatisir situasi atau melahirkan gambar poetic
seharusnya bukan menjadi tujuan film itu dibuat (tanpa memedulikan cerita yang
ada di dalam film.) Citra visual harus mendukung apa yang hendak disampaikan,
bukan justru jadi tujuan tersendiri. Seharusnya citra visual atau pilihan
estetika ditujukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan dan bukan sebagai
tujuan itu sendiri
Saya bisa
mengerti jika para pembuatnya sama-sama setuju bahwa film Selesai hanyalah
usaha untuk mengcapture realita, tidak dimaksudkan untuk menghakimi atau
menjadi juri. Namun apakah benar film adalah cerminan realita masyarakat saat
film itu dibuat? Jika benar, lantas apakah realita yang disajikan harus sama
persis? Lalu apa sebenarnya realita itu?
Memang benar film adalah cerminan realita (reflection of basic reality) Menurut Baudrillard dalam buku Simulations (1983:11). Film memang menawarkan realita tersendiri. Namun realita di dalam film bukanlah suatu keadaan yang absolut. Kenapa?
Karena ketika
kita bernafsu hanya pada menggambarkan realita kadang kita justru menjauh dari
kebenaran. Lebih kurang seperti kata Arnold Hauser “semua kesenian adalah
permainan dan pergulatan melawan kekacauan,” (dikutip dari buku The Art of
Watching Film karya Joseph M. Boggs) sebuah film yang hanya menyatakan bahwa
hidup adalah kekacauan, adalah film yang belum melaksanakan pertempuran seni.
Film yang
hanya menampilkan sebuah realita dari yang pernah dialami satu orang (yaitu
penulis) justru akan membatasi pembacaan dari penangkapan seseorang atas
realita itu sendiri, bahwa realitas bukan hanya yang tampak oleh mata saja.
Realitas terbentuk juga karena alasan-alasan yang mendasarinya, seperti kondisi
politik dan kondisi sosial tertentu, dan hal ini tidak saya temukan dalam Film
Selesai.
Juga rasanya
arogan ketika penulis merasa tidak perlu riset terlalu banyak karena informasinya
sudah cukup, seperti yang dikatakan Tompi dalam space yang disebut tadi. Karena
sayangnya tidak benar-benar ada informasi penting yang dinarasikan dalam film.
Filmnya benar-benar kosong, bisa dibilang mentah, film Selesai tidak punya
agenda atau statement apapun, tidak berpihak pada apapun, padahal sesungguhnya
temanya menarik dan sangat bisa jadi bahan diskusi. Sayangnya perdebatan yang
ada justru bukan membicarakan filmnya, namun hanya seputar arogansi dari Tompi
sebagai sutradara.
Film
sebagai produk budaya tidak lagi tampak dalam film ini. Tidak ada kesungguhan dari
pembuatnya untuk menyampaikan maksud atau pesan, bukan hanya penangkapan
realita satu orang saja. Lantas saya bertanya-tanya informasi apa yang dimaksud
Tompi jika mereka hanya menampilkan realita saja, tanpa mempertanyakan
“kekacauan” yang terjadi dalam realita tersebut? Terlebih film ini tidak
memiliki perspektif perempuan yang notabene di sepanjang film kita melihat
bahwa peran perempuan dalam film ini hanyalah sebagai korban saja. Sebegitu
pentingkah realita seorang Imam Darto sebaga penulis skenario sehingga harus
tampil di dalam film. Benarkah tampilan realita itu lebih penting daripada kebenaran
dalam realita tersebut?
Padahal tema
dalam film bisa bisa dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan moral seperti yang
ditulis Joseph M. Boggs dalam bukunya The Art Of Watching Film. Kenapa tidak
melempar bahasan tentang perselingkuhan sebagai implikasi moral? Daripada harus
melempar ke penonton tanpa implikasi apapun seperti yang diniatkan Tompi dalam
usahanya menjelaskan film Selesai dalam space di twitter dan berharap penonton
memahami maksudnya. Sudah jelas ia tidak memiliki argumen apapun tentang tema
tersebut karena kembali lagi hanya
menampilkan realita. Kalau begitu Apanya yang mau dilempar?
Tema film
Selesai juga tidak mengandung pernyataan tentang hidup. Tidak ada pembahasan
berarti tentang kebenaran dari peselingkuhan. Kita tidak mendapatkan apa-apa
dari tema itu, karena nafsu pembuatnya hanya untuk sekadar menampilkan realita.
Padahal jika hal itu ada, film Selesai justru bisa menumbuhkan kesadaran
realitas yang lebih tajam.
Kalau film
Selesai sekadar menampilkan realita saja, saya justru tidak menemukan
pernyataan tentang sifat umum manusia yang berdasarkan pada tema film tersebut.
Kita nyaris tidak benar-benar mengerti apa pandangan Ayu atau Broto tentang
perselingkuhan atau alasan peselingkuhan itu ada di dalam film, yang ada hanya
perdebatan tidak penting yang barangkali hanya untuk menambah durasi film.
Murni tidak ada telaah watak yang masuk ke dalam wilayah kesesuaian tema.
Padahal Tompi atau Imam Darto bisa saja menggunakan tokoh-tokoh dalam film
sebagai “tumpangan” sinematik untuk menggambarkan ilustrasi tentang kebenaran
dari realita yang dimaksud.
Tentu sudah
jelas tidak ada komentar sosial dalam film Selesai, atau bagi saya itu tidak
tampak, dalam penulisan sekalipun, juga dalam gambar, karena kembali lagi, film
ini hanya menampilkan realita “mentah” yang pembuatnya pernah rasakan dan pernah
lihat. Padahal banyak film-film modern yang menempatkan fokus dan berangkat
dari masalah-masalah sosial, dari realitas yang ada, dan pembuatnya
memperdebatkan itu dalam laku skenario dan treatment-treatment gambar.
Pada
akhirnya benar-benar tidak ada kritik atas perilaku Broto hingga akhir film.
Tema awal film menjadi tenggelam karena nafsu penulisan yang ingin menghadirkan
plot-twist tidak penting yang sebetulnya justru meruntuhkan narasi tentang
perselingkuhan yang sedari menit pertama tampil di dalam film. Film Selesai
justru hadir menjadi antiklimaks, kemerosotan dari cara bercerita terlihat saat
pembuatnya memilih ending yang tampak seperti jatuh dari langit begitu saja.
Semua diakhiri buru-buru, padahal sepanjang film temanya bukan tentang apa yang
dialami Ayu di ending filmnya.
Fiksi
haruslah logis, ia tidak bisa mendadak melompat tanpa memedulikan narasi awal
yang sudah dibentuk, tanpa penjelasan awal, tidak bisa serta-merta melempar
kepada penonton tanpa bahan yang bisa dijadikan perdebatan etis atau bahkan
moral.
Berbeda
dengan realita, realita kadang justru tidak logis, dan kita bukan tidak bisa
berbuat apa-apa atas itu. Itu kenapa keberpihakan, agenda atau statement dan
argumen dari pembuatnya seringkali menghiasi banyak film, kembali lagi pada
kekacauan realita (yang kadang tidak logis) atau sebagai upaya menanyakan ulang
realita, atau “menchallenge” realita yang ditangkap.
Akhirnya
tidak tampak keresahan dari pembuatnya atas tema yang ada di dalam film. Seolah
mereka menganggap bahwa perselingkuhan bukanlah hal non-etis yang perlu
dipertanyakan. Bagi saya mereka justru mempromosikan itu. Karena kembali lagi,
pembuatnya tidak memilih untuk memakai powernya untuk menyampaikan pandangannya
tentang itu.
Ungakapan
bahwa “kami menampilkan realita yang ada, bahwa hal-hal dalam film itu terjadi
dalam kehidupan sehari-hari,” yang disampaikan pembuatnya bagi saya hanyalah
bentuk defense mechanism untuk mengelak dari kritik orang-orang terhadap
filmnya.
Rasanya
sulit jika pembuatnya menganggap membuat film adalah persoalan belajar jika ia
menganggap argumen di atas sebagai argumen final dan tampak tidak mungkin
berubah di masa depan sebagai sebuah proses bertumbuh dan berkembang. Karena
bukankah ketika hal-hal dimaksudkan dalam kaitannya belajar selalu ada hal yang
lebih tidak kita ketahui, bahwa semakin kita tahu kita justru semakin tidak
tahu. Apakah benar Tompi selamanya hanya akan membuat film dari tangkapan
realita saja?
Ya meski
Tompi selalu bilang bahwa Film Selesai ia buat dari hati, lalu filmmaker mana
yang tidak membuat film dari hati?
Seperti adegan
Ayu makan roti tawar yang mengkorelasikan kesamaan antara pernikahan dan roti
tawar di awal film; bahwa pernikahan itu seperti memakan roti tawar, bahwa
mentega adalah pelekatnya, ia bisa habis digantikan oleh selai. Bahwa roti
tawar bisa jamuran yang dimaksudkan sebagai tidak hadirnya lagi peran suami / Broto dalam pernikahan keduanya dan berujung
Ayu membuang roti jamuran itu ke tong sampah.
Film
Selesai tidak jauh beda dengan gambaran itu, ia ibarat memakan roti tawar tanpa
isian, kita bisa saja memakannya, namun rasanya gak nikmat, ada yang kurang,
hambar dan isian itu yang saya maksud adalah riset dan refrensi; Minimnya riset
dan refrensi membuat film ini tidak mampu bicara banyak. Tompi pun sebagai
sutradara justru mengisinya dengan hal-hal memuakkan; seperti eksploitasi tubuh
yang saya sebut di atas, film ini kurang lebih persis seperti gambaran roti
tawar yang jamuran, yang ditampilkan di awal film; problematic, yang pada akhirnya tidak bisa bikin kita kenyang, dan berujung
masuk ke tong sampah.
Tapi, setidaknya
ucapan Ayu di awal film tersebut sejalan dengan nasib Film Selesai di dalam
realita kita.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar