Aku banyak belajar selama lima
bulan kemarin. Bisa kubilang bahwa sekarang aku bisa lebih jelas merasakan banyak hal, termasuk untuk mengungkapkan
perasaan-perasaan yang sebelumnya—selama ini cuma bisa dipendam.
Aku tahu
aku perlu punya kegiatan yang membuatku bisa berpikir dan merasa lebih jelas
tanpa gangguan, untuk itu selain olahrga tiap kali pulang kerja, aku juga mulai
lebih sering mencuci piring di malam hari, kegiatan itu benar-benar
memberikanku waktu untuk lebih memikirkan hal-hal, dan merasakan hal-hal.
Singkatnya kegiatan itu membantu mengenal siapa diriku, dan apa keinginanya,
ketakutannya, motivasinya, dan yang baru kutemui dan kusadara adalah tentang
apa atau siapa orang-orang yang tidak perlu ada di hidupku. So, karena itu i remove
people.
Aku tidak
bisa punya teman yang sengaja mengabaikanku, yang okey ketika aku tidak ada,
ketika aku pergi, ketika aku tidak ada kabar. Karena aku tidak memperlakukan
teman-temanku seperti itu. Aku mengabaikan mereka yang memperlakukanku tidak
selayaknya manusia. Somehow itu sedikit banyak merilis beban di kepalaku, aku
menemukan bentuk ideal dari ritme hidup yang selama ini aku cari. Setiap kali aku
melihat story seseorang lalu membangkitkan memori di masa lalu yang sedikit
banyak membuatku sakit dan kecewa, kini aku ketahui bahwa itu adalah tanda
untukku harus mulai mengabaikannya.
Aku juga
mulai memperlambat laju kendaraanku tiap kali aku pulang dari tempat berkerja.
Banyak orang bilang, bahwa untuk menuju sukses kita harus bergerak cepat,
karena era dan zaman berubah juga begitu cepat, karena orang lain bekerja keras dan cepat
untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Dari hal-hal itu aku justru semakin
menyadari bahwa untuk merasakan kebahagian, ketenangan kita justru harus
melambatkan tempo berjalan kita. Karena tentu kebahagian harus benar-benar bisa
dirasakan, tak perlu cepat-cepat berlalu. Dan itu yang aku temukan dan pelajari
dari melambatkan laju kendaraan. Bahwa selama ini ternyata aku melewatkan
hal-hal kecil yang sebetulnya sering aku temui tiap hari.
Hal-hal
sederhana saat aku melewati pintu mall yang pendinginnya sampai bisa aku rasakan
dari jalanan, atau aroma tahu petis prasojo yang bahkan sampai ke hidungku
meski aku tidak berdekatan dengan warung itu. Seorang perempuan yang memeluk
mesra kekasihnya di atas roda dua. Aku bahkan menghitung detik-detik di lampu merah, dan merasakan perubahan angin yang kadang panas, kadang dingin. Hal-hal
kecil itu seringkali membangkitkan lagi memori-memori yang dulu pernah terjadi.
Kini saat
aku melihat sepasang kekasih mesra di atas roda dua, atau di dalam mobil, aku
justru tersenyum dan ikut bahagia karenanya. Aku tidak lagi mengutuk diriku
atas apa yang tidak bisa kurasakan itu selama hampir tujuh tahun. Dulu aku
tidak terima, mengapa hal-hal baik tampaknya justru selalu mampir ke kehidupan
orang-orang jahat. Yang melihat perempuan hanya sebagai objek, atau misal yang
sejak lahir hidupnya tercukupi namun tidak mampu memanfaatkan keuntungannya,
dan justru malah menghabiskan apa yang ia punya hanya untuk hal-hal yang tidak
punya manfaat.
Ya, aku
menyadari, bahwa hal-hal kecil yang kutemui di perjalanan pulang seringkali
membuatku belajar banyak hal. Aku pernah melihat sepasang suami istri
bertengkar di pinggir jalan, dan salah satunya sedang menggendong seorang anak
perempuan, mungkin berusia dua tahun. Saat itu aku bukan malah berpikir untuk menolak
pernikahan, aku berpikir; aku tidak mungkin dan tidak akan memperlakukan
seseorang yang kucintai sepenuh hati seperti itu, aku juga tidak akan
mengorbankan anakku atas ego dan emosi yang mendekam di kepala. Aku tahu banyak fase yang sudah aku lalui, termasuk salah satunya menolak pernikahan.
Aku paham,
ada amarah yang pasti muncul, kadang kita tidak paham apa penyebabnya, kita
hanya paham karena mungkin kita merasa lelah, dan tidak sedang fokus menata
diri. Lalu aku belajar, bahwa segala
amarah yang membuncah tidak boleh lagi meledak di sembarang tempat, juga tidak
baik jika dipendam dalam-dalam. Ada perasaan aneh yang muncul setiap kali aku
belajar dari hal-hal kecil yang kulihat di perjalanan pulang. Belakang aku
menyadari satu hal, apakah ini rasanya menjadi kepompong yang keluar dari cangkang
dan berubah menjadi kupu-kupu. Sejujurnya aku tidak benar-benar mengetahui dengan
jelas, aku hanya butuh untuk benar-benar mendalami setiap perasaan yang muncul
dari dalam.
Seperti
kamu, aku pun juga pasti sedih, entah karena cinta, pekerjaan, teman-teman yang
brengsek, atau orang-orang di internet yang kelakuannya di luar nalar manusia.
Aku belajar satu hal bahwa setiap kesedihan bisa dikomunikasikan, layaknya
perasaan bahagia. Seperti para pedagang di pinggir jalan dan pembelinya, proses
jual beli itu bergantung pada satu hal fundamental, yaitu komunikasi dua arah
yang baik. Lantas aku berpikir kenapa banyak orang, termasuk aku seringkali
memilih menyendiri saat sedih. Bukankah itu membutuhkan waktu yang lama untuk
pulih, alih-alih menemukan orang yang mampu mengerti. Saat itu aku bertanya, apakah kesedihan bisa dikomunikasikan dengan baik seperti yang terjadi di antara penjual dan pembeli?
Bulan lalu,
aku terlibat pertengkaran hebat dengan kembaranku, yang kini aku pahami bahwa
itu seratus persen murni kesalahanku, aku sedang emosional terhadap sesuatu,
dan jahatnya aku menumpahkan amarah itu ke orang lain. Kembaranku pergi dari
rumah, menangis di jalanan, dan besoknya aku terus terbebani dengan fakta itu,
aku tidak bersemangat. Dan aku benci ketika ada di situasi tidak nyaman seperti
itu. Lantas saat di perjalanan pulang, aku memikirkan dengan matang dan pelan-pelan, aku
memutuskan untuk meminta maaf lebih dulu, aku memeluknya, disaksikan kedua
orang tuaku, lalu aku menjelaskan semuanya. Aku paham, komunikasi yang baik
membuka ruang-ruang yang sebelumnya tidak tampak di mata. Aku semakin menyadari, ternyata meminta maaf
itu membebaskan.
Bulan lalu
juga, aku jatuh cinta dan patah hati mungkin dalam waktu yang bersamaan, namun
setelah mendengarkan banyak relationship dari orang-orang, dan menganalisis
banyak kasus terkait hal itu, somehow aku bisa dengan tenang merespon dan
menghadapi perasaan itu. Aku paham bahwa segala sesuatu tidak harus selalu
tentang iya, kadang penolakan juga perlu dicermati dengan bijak, kini aku
justru senang setiap kali aku bisa menumpahkan perasaanku pada orang lain,
entah jawabannya apa. Yang aku tahu, itu terasa melegakan sekaligus
membebaskan.
Termasuk bulan
lalu, pada akhirnya aku berani merilis beban yang paling membebani hidupku. Aku
korban pelecehan seksual yang terjadi di awal-awal aku bekerja di tahun 2015.
Aku baru berani cerita ke ibu dan keluargaku Agustus 2020, kalo dipikir-pikir
ternyata selama itu aku membangun koping, dan belajar berdamai atas kejadian
itu. Aku memikirkan kejadian itu setiap kali ada di perjalanan pulang,
bertahun-tahun, berbulan-bulan, dari yang awalnya traumatik sampai ternyata aku
berhasil meresponnya dengan baik. Somehow, lagi-lagi itu sungguh membebaskan. Beban
paling berat dan besar sudah kuikhlaskan, lantas apalagi yang perlu aku
takutkan?
Mungkin
masih ada satu hal, aku sedang belajar untuk tidak sembarangan mendengar cerita
orang, karena aku sudah merasa cukup hanya dijadikan tempat cerita saja, lantas
ditinggalkan dan dilupakan, aku bukan rumah sakit, juga bukan tempat
rehabilitasi. Aku tidak akan membiarkan orang lain yang hanya mementingkan diri
sendiri, dan tidak bisa bertanggung jawab atas masalahnya, menghancurkan koping
di hidupku, menghancurkan perasaan damai yang susah payah aku bangun, merusak
kebebasanku berpikir dan merasa.
Hati-hati,
kadang pemicu apa yang terjadi di dalam diri pelakunya adalah teman-temanmu
sendiri, orang-orang yang kamu kenal yang sialnya merasa mengenalmu padahal sebetulnya tidak sejauh itu. Aku tetap
akan mendengarkan mereka, hanya pada mereka yang mau dan punya niat menganggapku sebagai teman dan penting dalam
pembentukan kedamaian dalam diri mereka.
Tidak ada
orang yang suka ditinggalkan, apalagi ditinggalkan saat kita sudah memberikan
segala sesuatu, bukan hanya waktu, tapi pikiran, tenaga, bahkan seluruh kasih
sayang yang kita punya. Karena semua orang punya masalah hidupnya
masing-masing, dan pasti kita akan merasa senang jika masalah atau beban di
hidup kita bukan hanya diri kita sendiri yang menanggung dan menyelesaikan.
Tentu kita akan sangat berbahagia jika ada orang lain yang mau mengulurkan
tangannya dan membantu. Bukankah beban berat akan lebih ringan jika dikerjakan
oleh lebih dari satu orang?
Aku suka
menolong, aku suka terlibat pada masalah orang lain, bukan karena aku tahu
solusi permasalahannya. Tapi karena aku cukup berani untuk mengulurkan
tanganku, dan membuka telingaku untuk mendengar dan berempati.
Dan untuk
semua itu aku memahami segala risikonya.
:)
Semarang, 2 Juni 2021
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar