Pukul 11 malam, saya menulis ini
karena saya merasa hina. Tak ada yang lebih menyakitkan ketika dirimu mampu
mengobati rasa sakit seseorang, tapi kamu sendiri merasa butuh diobati. Kamu
mampu membuat orang lain tidak memikirkan patah hatinya, tapi kamu sendiri
masih terus merasakannya meski berulang kali terus mencoba lupa. Saya merasa
hina. Saya merasa hina, saya merasa hina.
Hina karena saya tidak mampu
mengobati diri saya sendiri, hina karena saya tidak bisa menceritakan semua
yang saya alami, saya hanya bisa menuliskannya dalam bentuk-bentuk abstrak
berharap orang-orang latah yang hidupnya hapalan menangkap maksud saya. Kehinaan
itu membuat saya selalu berpikir kenapa saya sampai sekarang masih hidup penuh
siksa.
Kamu mungkin punya banyak pelarian,
pelarian yang membuatmu merasa nyaman dan aman. Saya lupa, saya ini apa, mereka
lupa, mereka alpa, mereka tidak peduli, siapa orang yang menemani mereka,
selalu berlagak dan berperan menjadi orang baik untuk mengobati dan
menyembuhkan luka hatinya, padahal di dalam diri berusaha meredam rasa sakit
yang teramat dalam.
Apa yang bisa saya lakukan selain
bermain-main dengan pikiran saya sendiri, sejujurnya saya membenci diri saya
sendiri, melihat orang-orang bahagia dalam kesemuan yang terus-menerus
diciptakan tanpa pandang bulu, berpura-pura. Menjadi bahagia padahal di dalam
dirinya menyembunyikan perasaan yang lain. Saya benci situasi ini, saya berniat
untuk tidak menemui siapa-siapa lagi, bahkan setelah ini.
Kesalahannya, saya terlalu peka
untuk mendengarkan orang lain, saya terlalu mau menyembuhkan orang lain.
Padahal saya pun tahu akhirnya akan seperti apa. Saya ini hina, untuk apa pada
akhirnya saya terus diinjak, dilupakan, tidak lagi berjejak. Berjarak pada
mereka semua yang jelas-jelas meminta untuk mendekat. Pelukan orang-orang itu
tidak pernah ada guna, jika pelukan itu tidak menyentuh inti jiwamu
Saya sekarat, meski saya harus
jujur, hanya media ini yang mampu menyelamatkan saya dari kematian,
menyelamatkan saya dari percobaan bunuh diri sekali pun. Saya ini apa, hinakah
saya menulis ini dan orang menganggap bahwa saya perlu dikasihani? BANGSAT!
Bahkan
saya sudah merdeka sebelum kalian datang, sesudah kalian pergi. Tak sadarkah
kalian? Kemerdekaan saya direnggut tanpa ampun. Terbelunggu sendiri. Bagaimana
rasanya? Harus terus-menerus merasa seolah tak terjadi apa-apa. Orang yang
menulis dua novel itu bukan saya. Itu saya yang sedang waras—sedang sehat.
Lupakan saya, bahkan kematian saya pun tak ada yang ingin datang.
Biarkan
saya terus-menerus menanam luka sendiri, mengingat setiap kenangan yang tak
mengenakan, ini lebih dari patah hati, lebih dari sakit hati. Bahkan saya
merasa tak lagi punya hati, pikiran saya mati, tubuh yang kecil ini, akan terus
merasa kecil. Tidak ada lagi obat, saya telah mati bahkan sebelum kalian sadar.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar