“Kamu
dimana??” tanya seorang wanita dengan nada kesal dari balik telepon.
“Aku
udah di depan kok.”
“Di
depan mana??”
“Di
depan pintu keluar. Kamu dimana??”
“Ohyaudah
aku kesana.”
“Jaket
merah ya.”
Telepon
ditutup. Seorang wanita berjaket bomber hijau toska berjalan menghampiriku.
Rambutnya dikuncir membentuk donat dengan lubang ditengahnya. Di tangan kirinya
tas besar merah muda terlihat begitu berat, membuat tubuhnya condong ke kanan.
“Sini
aku bawain.”
“Aku
hampir aja pesen GOJEK. Kamu lama banget.”
“Sorry,”
kataku sedikit tertawa.
“Nih
angklungmu aku bawa,” ditangan kanannya tas berisi angklung bernada Re dibawa.
“Makasih,
yaa,” senyumku, berjalan menuju parkiran stasiun.
“Semarang
panas banget.”
“Di
rumahku tadi gerimis.”
“Kok
bisa??” tanya wanita itu dibelakangku.
“Anomali
cuaca. Semarang dibagi dua wilayah. Semarang atas sama bawah,” tas merah muda
yang berat itu kutaruh di bagian pijakan kaki motor matic. Wanita itu
menungguku menarik motor, sesekali megelap kening yang basah oleh keringat, Aku
melihatnya dari spion. Wanita itu naik, setelah aku menyalakan mesin.
“Kemana
dulu, nih??” tanyaku.
“Check-In
dulu, lah. Masa iya mau jalan-jalan bawa barang segini banyaknya,” kata wanita
itu memakai helm.
“Jangan
keras-keras, check-in kedengeran negatif disini,” Aku tersenyum, dari spion aku
melihat wanita itu menutup mulut dengan tangan.
Hari
itu pukul dua siang, sebuah janji membawaku ke stasiun, sekali lagi. Salah satu
tempat yang paling ku benci. Di sanalah tempat paling nyata dimana kita bisa
melihat perpisahan bahkan merasakannya. Tiga hari sebelumnya wanita ini
menghubungiku tiba-tiba setelah berbulan-bulan tak memberikan kabar baiknya
padaku. Dia ditugaskan di kota ini selama tiga hari dua malam. Dan dia
memintaku menemaninya selama waktu senggangnya. Aku memberikan satu syaratku
padanya, untuk membawakan angklungku yang tertinggal kala itu. Saat aku
mengunjungi Bandung untuk sebuah festival film.
“Bener
yaa, langsung ke hotel. Jangan minta berhenti tiba-tiba,” kataku menggoda.
“Bener,
Zahid...”
Motorku
melaju pada kecepatan normal, jalanan ramai di Kota Lama, sampai kita melihat
Gereja Blenduk, satu tempat yang ingin dia singgahi selama di Semarang.
“Bener,
yaa...” godaku sekali lagi.
“Eh...
Ini tempat yang aku tunjukin di line kemarin kan?? Aah Zahid!” wanita itu
menampar pundakku.
Dari
spion, aku bisa melihanya tersenyum, terpaku mendongak—menatap Gereja Blenduk.
Aku sedikit tertawa melihat helm yang tampak kebesaran di kepalanya.
“Habis
dari hotel kita harus kesitu.”
“Makan
dulu. Katanya belum makan nasi dari semalem.”
“Eh
iya makan dulu.”
Hotel
tempatnya menginap tak terlalu jauh dari stasiun. Dekat dengan pusat
perbelanjaan bintang lima di Semarang. Aku membantunya membawakan barang-barang
hingga ke kamarnya. Lalu menunggunya di luar. Kamarnya nomor 612, aku bahkan
masih ingat. Lorong hotel itu sangat sepi. Aku menunggu sembari melihat sebuah
rumah yang punya lahan luas, dindingnya sejajar dengan dinding hotel yang
menjulang tinggi. Ponselku ku tinggalkan di jok motor. Aku terbiasa menjauhkan
barang itu ketika sedang bertemu atau berbincang dengan orang. Setengah jam
kuhabiskan waktu dengan mondar-mandir, sekali mengetuk pintu, beberapakali
kata-kata lewat di kepalaku, membentuk puisi. Aku hanya tersenyum, bukan
waktunya untuk membuat puisi. Waktunya untuk menghabiskan kemungkinan bersama
seseorang yang didatangkan Tuhan.
“Yuk,”
pintu kamarnya terbuka, aku tersenyum melihatnya telah berganti pakaian. Wanita
itu menutup pintu. Aku berjalan di belakangnya. Berulangkali aku meyakinkannya,
menanyakan sesuatu yang mungkin tertinggal. Dia sangat yakin, hingga kaki kita
menapaki lobby hotel. Dia baru teringat, dompetnya tertinggal di kamar. Dia
sedikit tertawa melihatku, tanda meminta maaf. Aku tersenyum memakluminya.
Perjalanan jauh telah menghabiskan tenaga dan fokusnya. Aku mengambil motorku
dan menunggu di depan hotel.
“Udah??”
Bener nggak ada yang ketinggalan lagi??” tanyaku, memberikan helm.
“Aman.”
“Oke,”
kataku menyalakan mesin.
“Kok
diem??”
“Bismillah
dulu...”
“Bismillah.”
Jujur
saja, aku tak punya ide untuk membawanya ke tempat makan yang mana. Aku
mengandalkan spontanitasku, aku lemah untuk urusan tempat-tempat yang sering
didatangi banyak orang. Aku lebih suka sendiri, rasanya pusing jika harus
berada di keramaian. Tidak jauh dari hotel, aku membawanya ke tempat makan yang
sialnya sudah pernah dia datangi saat dulu berkunjung ke Semarang. Dia tidak
memasalahkan hal itu, meski aku tahu dia sedikit kecewa, aku membaca dari nada
bicaranya. Harusnya kubawa dia ke tempat yang belum pernah dia datangi.
Setelah
kita selesai makan, aku membiarkan dia untuk membuka obrolan lebih dulu.
Sesekali wanita itu sibuk dengan kedua ponselnya.
“Jadi
gimana??” katanya setelah menutup ponsel.
“Hmm??
Gimana apa??”
“Eh
sorry, yaa. Aku baru bisa bawa angklungmu.”
“Ah
nggapapa. Santai aja, aku tahu kamu bakal bawa langsung ke Semarang.”
“Kok
bisa??” wanita itu melipat tangannya di meja.
“Yaa,
aku berdoa sama Tuhan... Semoga kita bisa ketemu lagi. Akhirnya ketemu kan??”
senyumku menatapnya.
“Kamu
nggak lagi gombal kan??” tanyanya. Aku tersenyum membalas.
Entah
apakah ini sebuah kebetulan atau anugerah dari Sang Maha dahsyat. Setiap kali
aku menatap mata seseorang, aku selalu bisa membaca habis pikirannya. Rasanya
seperti semua yang ada dalam dirinya melewati pikiranku sebagai gambaran yang
pecah. Aku hanya perlu diam untuk menebak. Bukan hanya apa yang disuka atau
tidak disukai. Semua tentang orang itu. Tak terkecuali wanita di depanku. Aku
mendapat beberapa gambaran pecah yang kupilih satu.
“Kopi
apa Teh??” tanyaku.
“Aku
lebih suka cokelat,” katanya melihat tote bagku.
“Eh
itu hadiah lomba foto di instagramya?? Yang tentang kopi, kan??” tanya wanita
itu.
“Bukan,”
aku menggeleng.
“Terus??”
“Hadiahnya
Kopi... Kopi Solok.”
“Kamu
emang suka ngopi yaa??”
“Hmm...
Aku malah lebih suka ngeteh.”
“Aku
nggak kuat ngopi. Lambungku bisa sakit.”
“Jadi
kamu minum cokelat apa??” tanyaku.
“Cokelat
sachetan aja sih.”
“Merknya??”
tanyaku sekali lagi.
“Yang
bungkusnya warna merah.”
“Delfi??”
“Nah
iya, itu.”
Aku
tidak percaya apa yang keluar dari bibir wanita itu barusan. Aku merogoh tasku.
Mengambil satu sachet delfi lalu memberikan tepat di depannya.
“Nih
buat kamu. Kalo entar malem pengen minum cokelat.”
“Ha??”
wanita itu terpana, berulang kali melihatku dan satu sachet cokelat delfi. Ada
banyak pertanyaan muncul di kepalanya. Aku tahu apa yang akan dia katakan
setelah ini.
“Kamu
kok nakutin sih?? Kamu stalkerku yaa?? Ih kok bisa sih??” wanita itu memegang cokelat
Delfi, sembari melihatku.
“Kebetulan
nih pasti.”
“Nggak
ada yang kebetulan,” aku menggeleng dan tersenyum.
Wanita
itu masih terpana, pelan-pelan memasukkannya ke dalam tas, sembari terus
melihatku penuh curiga.
“Yaudah
yuk, sebelum kesorean,” aku bangkit berdiri.
“Lawang
Sewu, yaa,” katanya bersemangat. Aku tersenyum membalas.
Aku
pun tak tahu kenapa itu bisa begitu nyata terjadi. Bahkan cokelat Delfi itu
sudah ada di tasku sejak dua hari yang lalu. Ibuku memberikan dua bungkus
padaku. Ada banyak yang tak aku ceritakan dari obrolan kita di rumah makan itu.
Katanya, aku seperti seorang peramal. Padahal itu terjadi karena spontanitasku,
aku hanya menebak. Aku memang salah satu orang yang berkeyakinan bahwa tak ada
yang kebetulan di dunia ini.
Tak
bisa kupungkiri dia tampak anggun dalam setelah sederhananya. Aku suka
bagaimana lengan bajunya menyentuh kedua sikunya. Warna baju garis hitam putih
yang membuatnya terlihat ideal, tidak kurus juga tidak gendut. Caranya
menguncir rambut membuat jenjang lehernya yang putih terlihat. Bahkan aku
tersenyum dengan cara dia memegang tongsis, mencari angle yang pas untuk
mengabadikan momen itu. Sampai aku memutuskan untuk menjadi fotografernya,
membuatnya sekali lagi terpana karena keahlianku memotret, meskipun hanya
menggunakan ponsel. Aku suka caranya menyentuh pundakku saat melihatkan hasil
foto di ponselku, lembut dan mengakar hingga kulit matiku.
Hampir
dua jam kita disana, hampir seratus foto sudah diambil. Satu momen yang
membuatku tertawa sekaligus heran, karena hal ini menjadi ciri khas semua
wanita saa foto.
“Eh,
fotoin aku disini, itu backgroundnya,” wanita itu menunjuk gedung utama Lawang
Sewu.
“Mau
gimana nih??”
“Terserah
kamu, pokoknya jangan kelihatan gendut.”
“Serius
deh, aku nggak tahu tips atau cara bikin orang yang gendut jadi nggak kelihatan
gendut di kamera,” aku menurunkan ponsel, menatapnya.
“Kok
kamu gitu sih?? Aku kelihatan gendut yaaa??” wanita itu memegang kedua pipinya.
“Nggak
sama sekali,” senyumku menatapnya.
Malam
mulai datang, aku menghantarkannya sampai pintu kamar. Dia memberikanku
Brownies, tersenyum lalu menutup pintu. Aku menunduk, melihat brownies di
tangan kananku, karpet lorong hotel itu menjelma wajah wanita itu, aku
tersenyum. Tiba-tiba teringat ada pekerjaan yang tertunda di kantor.
Hari
kedua adalah hari dimana kesibukannya sebagai seorang pekerja keras terlihat.
Aku sengaja tak memberikan pesan untuk sekedar menanyakan sesuatu untuk
basa-basi. Aku tahu akan ada saatnya sepenuhnya waktu hanya untuk kita. Hanya
butuh untuk bersabar. Aku berulang kali terpaku melihat foto-fotonya di
ponselku. Tidak lupa mengirimkannya pada wanita itu.
Hari
ketiga, ada janji untuk menemaninya seharian sebelum jadwal kereta yang
membawanya ke Bandung tiba pukul delapan malam. Semarang gerimis, rintik-rintik
dari tengah malam. Aku tidak berangkat kantor hari itu. Aku tak mau dibilang
pengobral janji. Apalagi untuk seorang wanita, makhluk paling spesifik didunia,
makhluk dengan tingkat kelabilan paling tinggi diantara yang lain. Aku tidak
ingin mengacaukannya.
Aku
sampai tepat pukul sebelas siang. Lagi-lagi aku harus menunggunya, duduk di
depan lift, berulang kali menelponnya namun tak diangkat. Aku curiga, dia masih
tertidur. Sampai pada panggilan keduabelas dia mengangkat teleponku, berkata
baru selesai mandi dan hendak bersiap-siap, menyuruhku untuk bersabar menunggu,
padahal saat dia mengatakan itu, sudah setengah jam kulalui, duduk melihat lift
yang terbuka dan tertutup berulang kali.
Berulang
kali melihat angka-angka yang menyala di atas lift, berharap wanita itu ada di
balik lift terbuka. Sampai pada satu detik, seorang wanita tersenyum menatapku,
aku terpana, dia lebih anggun dari kemarin, masih dengan lengan baju yang
menyentuh siku, cara dia menguncir rambut yang sama. Dan cara dia meminta maaf
karena membuatku menunggu lama. Aku tak peduli apa yang tadi terjadi,
tatapannya meluluhkanku, baju putihnya cukup membuatku terus terpaku. Tetap
saja, aku berpura-pura seolah tak ada apa-apa, sampai wanita itu selesai menitipkan
barang-barangnya pada resepsionis hotel. Aku menggodanya untuk mengecek
kemungkinan barang yang tertinggal. Dia menarik tanganku, aku bangkit, hendak
merangkul namun ku urungkan.
Sesuai
janjiku, aku akan membawanya ke tempat yang dia inginkan. Kota Lama, tempat
mainstream semua orang yang datang di Semarang. Tak jadi masalah, karena hanya
tempat ini yang memikat di Kota ini. Pemerintahnya sibuk pencitraan hingga lupa
menciptakan ruang bagi turis yang datang. Aku dengan kamera ponselku di tangan
kanan, membawakan tasnya di punggung, dia membawa tote bagku.
“Ada
banyak orang yang ngelihatin kamu... Bagian belakangmu,” kataku.
“Masa??”
wanita itu melihat bagian belakang tubuhnya.
“Nggak
ada apa-apa, mereka cuma tertarik aja sama kamu,” godaku.
“Aku
cuma punya ini yang jadi daya tarik lebih,” wanita itu memegang pantatnya.
“Dadaku
nggak sebesar yang lain,” katanya menambahi.
Aku
hanya tersenyum, sungguh salah ketika seorang wanita mengatakan bahwa pria-pria
melihat wanita hanya dari fisiknya. Memang benar, pria jatuh cinta dari apa
yang mereka lihat dan wanita jatuh cinta dari apa yang mereka dengar. Tapi, aku
bukan bagian dari pria yang jatuh cinta karena melihat fisik seorang wanita.
Aku jatuh cinta pada perempuan yang jujur pada dirinya sendiri. Yang punya
tingkat kespesifikan tingkat tinggi, yang bisa membuatku terus berusaha mencari
celah untuk masuk ke setiap detailnya. Aku suka pada wanita yang melemahkan
dirinya. Bukan karena merendahkan dirinya terhadap wanita lain, tapi karena
memang menyadari kelemahan dirinya. Membandingkan-bandingkan wanita adalah
pekerjaan paling mudah yang hanya dilakukan oleh pria-pria lemah.
Sebab
aku telah memenuhi janji dan keinginannya, aku berhak atas senyum yang
terpancar dari bibirnya. Aku mendengar caranya berterimakasih karena hasil
fotoku yang dia suka. Aku mendengarnya dan aku suka. Aku suka melihatnya saat
sibuk dengan ponselnya. Aku tak peduli apa yang sedang dia hadapi di ponsel
itu. Aku hanya sedikit terluka ketika tiba-tiba dia tersenyum membaca pesan di
ponselnya. Setelah berkeliling Kota Lama dan masuk ke Gallery Seni, mendung
mulai tiba lagi, hampir tiga jam kita berjalan kaki. Dan aku melihat kelelahan di
matanya.
“Makan
yuk.”
“Mau
makan apa??” tanyaku.
“Aku
lagi ngidam Tahu gimbal, nih.”
“Gampang,
bisa diatur,” senyumku, membalasnya.
Aku
membawanya ke pekan kuliner yang sedang berlangsung di salah satu toko swalayan
di dekat stasiun, menikmati Tahu Gimbal berdua. Aku tak memedulikan rasa dari
Tahu Gimbal itu, karena semalam aku juga telah memakan makanan itu. Aku sibuk
melihatnya memainkan sendok, menyingkirkan udang-udang yang akan di makannya di
bagian akhir. Aku suka caranya mengunyah makanan, aku suka cara orang-orang
disekitarku melihatnya. Aku suka bagaimana dia membenarkan lengan bajunya yang
menyentuh siku. Aku suka menjalani hariku dengannya.
Sebelum
malam tiba, dia memintaku untuk menemaninya membeli oleh-oleh. Saat itu suasana
diantara kita tampak cair, terlihat tak ada sekat yang menghalangi. Sesekali
dia menyentuh dan memegang lenganku, hanya sekali aku merangkulnya, hal paling
jauh yang berani ku lakukan. Sentuhan itu bahkan masih terasa hingga kini.
Berulang kali kita melempar candaan yang membuat masing-masing dari kita
tersenyum dan tertawa. Di atas motor dia berbicara banyak hal tentang masa depannya.
Aku hanya mendengar, tak seantusias sebelumnya, karena aku tak melihat diriku
ada di masa depannnya.
Setelahnya,
kita kembali ke hotel, mengambil barang-barangnya lalu menuju Stasiun. Aku
hanya diam. Tak membuka obrolan. Hanya sesekali menanggapi candaannya. Di ruang
tunggu stasiun ada kata yang diadu diantara kita, aku memberanikan diri untuk
membuka obrolan.
“Jadi
gimana, Si Mas itu??”
“Baik,
tanggal sepuluh kita mau ketemuan.”
“Oh
jadi kalian belum pernah ketemu??”
“Belum,
harusnya tanggal 25 kemarin, tapi nggak jadi.”
“Apa
yang kamu suka dari dia??”
“Ada
satu hal yang ngubah pandanganku tentang dia, satu hal yang nggak berani di
ungkapin cowok lain ke aku. Cuma dia yang berani bilang ini.”
“Bilang
apa emang??”
“Aku
nggak bisa bilang tepatnya gimana. Yang pasti dia berani serius sama aku.”
Belum
aku menjawabnya, pria yang kita obrolkan berdua, menelponnya. Aku melihat raut
muka yang sangat bahagia. Belum pernah aku melihat seorang wanita sebahagia itu
menerima telepon dari seorang Pria yang bahkan belum pernah dia temui. Aku juga
tak merasakan dorongan apa-apa dalam diri. Aku hanya tersenyum, bahagia melihat
senyumnya. Wanita itu terlihat sangat ketakutan kehilangan pria yang ada di bilik
ponselnya. Dia menutup teleponnya.
“Gimana??”
tanyaku.
“Dia
perhatian banget sama aku, Hid. Aku suka cara dia memperlakukan aku. Aku suka
dengerin suaranya. Aku suka caranya ngomong. Aku yakin ini saatnya, apalagi
diumurku yang mau menginjak 26. Aku kemakan sama waktu, Hid. Nggak ada waktu
lagi buat main-main. Ibu-bapakku udah nunggu. Ibuku terutama, dia pengen banget
lihat aku nikah. Nggendong cucu,” wanita itu menghapus air matanya.
“Terus
masa lalumu yang dulu pernah kamu ceritain ke aku?? Kamu udah bener-bener ngikhlasin
dia, kan??” tanyaku, tersenyum.
“Udah.
Ikhlas pake banget. Bener katamu dulu, dia nggak baik buat aku. Tuhan ngirim
kamu buat nyadarin aku,” wanita itu menahan air matanya, jatuh sekali lagi.
“Apalagi
yang bikin kamu yakin sama yang sekarang??”
“Dia
belum pernah pacaran.”
“Memang
sih, ada cowok yang pantes buat di jadiin pacar tapi nggak pantes dijadiin suami.
Sebaliknya juga. Ada cowok yang nggak pantes di jadiin pacar tapi pantes banget
dijadiin suami. Mungkin dia yang sekarang tipe yang kedua,” senyumku, mencoba
menenangkannya.
“Menurutmu
gimana??” tanya wanita itu.
“Kok
tanya aku??”
“Kamu
kan peramal,” wanita itu menggodaku.
“Nggak
bisa. Urusan hati tuh urusan masing-masing, nggak bisa dikompromiin. Kalo kamu
yakin, ya bagus. Artinya kamu punya keyakinan. Saran dari orang boleh kamu
dengerin, tapi segala keputusan yang bersangkutan sama perasaanmu, yaa cuma kamu
yang boleh mutusin.”
Wanita
itu tersenyum, menatapku. Senyum yang mengembang, sesekali menghapus air
matanya. Mengucapkan terimakasih dalam nada yang tak bisa kudengar.
“Kalo
kamu gimana, Hid??”
“Aku??
Apanya??” aku mencoba mengelak.
“Soal
perasaanmu.”
Aku
menghela napas. Dia terpaku menatapku.
“Masih
nunggu.”
“Kamu
masih nunggu?!” wanita itu seakan tak percaya.
“Oh
come on, setia itu apa sih??” tanyaku.
“Hebat
yaa kamu. Kalo aku pasti nggak tahan.”
“Mereka
yang dateng cuma sekedar basa-basi. Nggak pake perasaanya.”
“Tapi
bukannya cewek itu lebih pake perasaan, yaa??” wanita itu tajam menatapku.
“Itu
mitos. Kalo memang iya, cewek-cewek itu harusnya berhasil nyentuh perasaanku.
Nyatanya?? Mereka yang pake perasaan cuma jadi minoritas. Yaa, sama kayak
laki-laki yang bener-bener pake perasaanya buat jatuh cinta... Jarang.”
“Kenapa
sih, kamu baru ngomong masalah ini sebelum aku pulang. Sebel, deh. Sumpah,”
tepat setelahnya suara petugas stasiun menggerakkannya untuk bersiap. Keretanya
telah tiba.
“Yaudah
yuk,” wanita itu bangkit, membawa setengah barang-barangnya. Aku membawa
sisanya. Aku berjalan di belakang wanita itu, melihat langkah kakinya yang
mantap tanpa ragu. Sampai di depan petugas pengecekkan tiket dia berpamitan.
“Aku
pulang dulu yaa,” wanita itu menyalamiku.
“Iyaa.
Semoga kalo kita ketemu lagi aku bisa lihat cincin di jari manismu,” aku
melepas jabat tangannya.
“Makasii
yaa,” wanita itu tersenyum.
Riuh
ruang tunggu stasiun itu tak terdengar hingga telingaku. Ada dorongan dalam
diriku yang tak bisa di jelaskan. Aku bingung. Sekali lagi, stasiun memisahkan
dua hati yang seharusnya sudah bisa disatukan. Tidak seperti gesekkan rel pada
roda kereta. Percikkan itu hanya terjadi sementara. Aku tidak berani melanjutkannya,
aku berdosa jika masih berusaha untuk memalingkan wajahnya dari pria yang
membuat hidupnya jadi lebih hidup. Bahkan jika sebuah pertemuan tidak mampu
berbicara banyak dan tidak berhasil mengubah apa-apa. Artinya aku memang harus
mundur dari realita. Menyadari bahwa aku sudah mengetuk pintu yang salah.
Kadang
aku kesal bahwa orang-orang bisa seenaknya memperlakukan perasaan tertinggi
yang bisa Tuhan beri. Perasaan cinta dalam diri seseorang bisa saja habis. Dan
saat itu terjadi, kita memang hanya bisa menerima apa yang diberikan Tuhan. Tak
lagi mencari, tak lagi berburu. Hanya menyiapkan diri untuk sebuah penerimaan.
Bahwa tak ada yang kebetulan, bahkan perasaan cinta yang mungkin tak dia
sengaja telah tertanam di hatiku. Dan aku memilih tidak menyiramnya apalagi
memupuknya. Membiarkannya mati dan tidak tumbuh. Hati adalah sebuah brankas
besar, dimana didalamnya banyak brankas-brankas kecil. Aku menyimpanmu pada
satu brankas diantara brankas yang lain, lalu menutupnya, membiarkannya mati
dan tidak ingin kubuka lagi. Begitukah konstelasi hati diciptakan? Tak ada yang
mengerti, bahkan diri sendiri.
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar