Gerbang
sekolah terbuka untukku, untukmu, untuk kita. Semua orang yang mengatasnamakan
dirinya pelajar, melewatinya hampir setiap hari. Gerbang sekolahpun
diperlakukan terhormat, selalu ada orang yang menjaganya. Bahkan lebih dari
satu orang. Gerbang sekolah adalah awal. Awal ketika kita bertemu, saling
menatap dan akhirnya menetap. Aku ingat tiga tahun lalu, ketika kita masih
sama-sama diperlakukan tidak adil oleh kakak kelas yang belakangan kita sebut kampret.
Gerbang
sekolah yang terbuka menjadi pertanda bahwa hiruk-pikuk sekolah akan dimulai
dan berakhir. Aku selalu menunggumu di gerbang sekolah pada dua waktu. Pagi dan
sore hari, menunggumu yang menunggangi sepeda di pagi hari. Menunggumu untuk
bisa pulang ke rumah di sore hari, menolak jemputan yang diutus ibu. Aku selalu
suka berada di boncengan sepedamu.
Kamu sangat baik, memberinya bantalan supaya pantatku tidak terasa sakit.
Aku
suka senyummu kala pagi, senyum yang menyungging membuatku tertawa dan tidak
terpaksa, tatapan nakalmu masih terus membekas hingga kini. Aku tahu meski kita
tidak pernah dalam satu ikatan hingga kini. Tapi, aku menikmatinya, seperti
rasa nyaman ketika aku memelukmu, berpegangan ketika kamu mengayuh sepeda lebih
kencang dan melewati beberapa mobil. Aku tidak lupa, yang selalu membuatmu geli karena keningku yang selalu
menyentuh punggungmu ketika kita berboncengan.
Kita
tidak lupa saat hujan turun selepas pulang sekolah, masih diatas sepeda hitammu
kita diterpa hujan yang sama, menikmati setiap tetesnya bersama debar jantung
yang terus memacu ketegangan diantara kita. Ketika seragamku basah oleh hujan,
juga air mataku. Air mata yang tidak menginginkanmu pergi, perpisahan yang
harus terjadi selalu membuatku mengutuk diriku sendiri. Kenapa tuhan
menciptakan perpisahan, jika sebuah pertemuan bisa membuat kita saling
mengasihi penuh tulus.
Ingatanku
masih sama tentangmu, ketika kamu selalu mengajakku berbicara diatas sepeda
hitammu. Membicarakan jam pelajaran yang membuat lelah dan penat. Bosan yang
kadang mampir tanpa permisi karena guru yang tidak becus mengajar. Dan
membicarakan gosip kedekatan teman sendiri. Aku senang, ketika kamu tidak
pernah membahas soal kita, meskipun awalnya aku merasa menjadi orang yang
paling tidak beruntung di sekolah.
Kamu
selalu meyakinkanku dengan senyum dan kata-kata manismu yang aku yakin keluar
tulus dari hati. Jika sepasang kekasih yang saling mencinta saja bisa saling
menyakiti dan patah hati, lalu kenapa cinta menyatukan mereka. Cinta yang
seperti itu bukanlah cinta, itu nafsu yang berkamuflase. Kita sama-sama tahu
bahwa cinta adalah anugerah terindah yang dipunyai setiap manusia. Cinta adalah
yang abadi sejak kita lahir hingga mati.
Belakangan
aku sadar, kamu memberikan cintamu untukku tanpa memaksaku untuk memberikan
cintaku padamu. Aku selalu kalah soal konsep mencintai. Bagiku cinta adalah
saling memberi. Tapi kamu selalu bilang bahwa cinta perihal memberi tanpa
kalimat saling. Soal cinta kita tidak boleh pamrih. Orangtua kita mencintai
dengan tulus, memberi apa yang mereka punya, tanpa mengharapkan imbalan. Lalu
apakah soal cinta kita harus saling memberi, jika pada akhirnya kita menarik
pemberian kita.
Aku
mencintaimu sebatas nafas, yang tidak bisa kamu lihat namun bisa dirasakan.
Jangan terlalu dekat, karena itu akan membuatku tidak bisa merasakan hembusan
nafasmu. Aku yang selalu penuh dengan peluh keringat di keningku selalu kamu
tertawai. Kamu bilang bahwa aku grogi
bertemu kamu. Aku hanya bisa tertawa, mencubit perut buncitmu dan mengatakan
“kamu benar” dalam hati.
Masa
akhir sekolah telah membuat kita was-was.
Ketakutan akan perpisahan terasa di debar jantungku dan bola matamu. Tiga tahun
bersamamu, membuatku membenci perpisahan. Meski tak ada kata yang dapat
mencegah perpisahan kita untuk tidak datang. Tapi percayalah, perpisahan adalah
cara tuhan menguji seberapa besar cinta kita. Seperti kutub negatif dan positif
magnet yang dijauhkan, mereka akan bertemu lagi pada akhirnya. Mereka saling
menemukan.
Menunggumu
di gerbang sekolah akan menjadi aktivitas yang paling aku rindui. Menerjang
hujan bersamamu menjadi ingatan ketika hujan menerpa jendela kamarku. Sekolah
akan menjadi pelabuhan terakhir sebelum kapal kita berangkat dan berpisah.
Jalur perjalanan yang kita pilih memang berbeda, tapi percayalah, kita masih
bisa saling menatap dari dek kapal. Melambaikan tangan dan saling mengirimkan
rindu juga sentuhan lewat angin yang selalu memberikan kabar baik bagi para
nelayan.
Hari
ini, ketika perpisahan mengingatkanku dan benar-benar terjadi. Aku memilih
berdiri di gerbang sekolah. Menikmati setiap hembusan angin yang menerpa
wajahku. Menatap lalu-lalang kendaraan. Tentu saja, menunggumu dengan Kebaya
yang terasa tidak nyaman di tubuh. Kenapa sekolah menciptakan acara yang
sebenarnya dapat membuat masing-masing dari kita merasa kehilangan.
Aku
benci, tidak bisa mengungkapkan perasaanku di perpisahan yang dekat dan tampak
nyata. Aku benci, tidak mendapat apa-apa ketika kita berpisah. Aku benci, tidak
bisa mendengar suaramu lagi. Aku benci, tidak bisa melihat senyum yang
mengugurkan kegelisahanku setiap pagi. Aku benci melihatmu bahagia tanpaku. Aku
benci diriku yang tidak bisa menghilangkan bayangmu di pikiranku.
Aku masih
menunggumu yang tidak kunjung datang menemuiku di gerbang sekolah. Aku bertanya
pada diriku: Apakah perpisahan sudah benar-benar terjadi? Aku masih belum
percaya, kematian telah merenggutmu dariku.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar