“Jadi,
setelah ini apa?” Tanya Gamma.
“Setelah
sekian lama, Cuma itu pertanyaanmu?” Jawab Vega.
“Ya,
tentu. Memangnya apalagi yang bisa aku tanya?”
“Gamma,
ayolah. Jangan begini terus,” Vega memegang tangan Gamma.
“Perempuan…
Memang nggak bisa bedain mana beneran suka, mana penasaran,” Gamma melepas
genggaman Vega.
“Gamma,
jangan gitulah,” Vega memohon.
“Aku
udah sekuat tenaga membuka hatiku lagi, buatmu… Tapi, belakangan aku sadar,
tuhan nggak mau berbagi tempat denganmu.”
“Gamma…”
Keluh Vega
“Apa?”
Gamma menatap Vega.
“Mustahil
buat kita,” Jari-jari tangan Vega beradu.
“Kita
sama-sama tahu, nggak ada yang mustahil kan di dunia ini,” Gamma menyentuh
lembut jari-jari Vega.
“Iya,
tapi yang ini beda, kamu harusnya ngerti.”
“Apa
yang beda? Aku nggak pernah ngerti jalan pikiranmu. Bertahun-tahun, Veg.
Akhirnya?? Kamu malah nggak hargai aku buat ambil keputusan itu.”
“Bukan
cuma aku yang bikin keputusan itu, Gamma.”
“I
know.”
“You,
still my love,” Vega menatap Gamma.
“No,
ini nggak adil, setelah ini, bakal berapa lama lagi hatiku tertutup untuk
siapapun, menunggu lagi buat dibuka. Sampai kapan lagi, Veg.” Mata Gamma
berkaca.
Hari
itu, satu hati terpaksa ditutup lagi. Melihat gelap yang tak dilihat
siapa-siapa. Kehancuran bagi umat manusia hanya sebatas dada. Di dalamnya
tumbuh semua rasa yang bisa menggetarkan seluruh organ, nadi, darah, saraf dan
merusak otak, membelah tangis dari air yang tak basah. Manusia memang tak
pernah mengerti bagaimana susahnya membuka hati yang pernah terluka, bahkan
berkali-kali. Jadi apa yang perlu dibuat?
Hari
itu, segala yang pernah terucap hanya jadi metafora yang mengambang di
langit-langit malam, membangunkan angin yang lama terdiam, menggerakkan dingin
yang lama panas. Semua kata hanya jadi baris tanpa makna, sepasang kekasih yang
tak perlu menetap lagi tapi masih ingin menatap. Adakalanya hati dibuat untuk
terus disakiti, membuatnya jadi tahan banting, bisa merasakan hal-hal kasar,
namun tak bisa lagi merasakan kelembutan-kelembutan. Jadi, sendiri menjadi
pilihan, karena rasa sudah tak bisa lagi merasa.
Hari
itu, semua peluh keringat jatuh di kening malam, keanehan yang tak biasa
terjadi. Malam yang selalu menawarkan dingin, terasa panas bagi jiwa-jiwa yang
kehausan dikasihi, Malam-malam tak pernah sama lagi, mengubah sepasang kekasih
jadi badai perang perasaan. Antara melepas atau mengikat. Mengingat yang tak
bisa teringat, mengikat yang tak terikat, melepas yang tak terlepas. Jadi, apa?
Kenapa?
Hari
itu, tak ada malam singgah di matanya, mengubah semua kenangan jadi abu
kematian sendiri, menyentuh inti yang sakit, merebut kembali yang diambil.
Pikiran menjadi ladang perang. Berkecamuk sendiri. Kesakitan yang abadi
benar-benar terjadi, telah berapa lama seonggok hati itu tertutup dan tak
diketuk. Mendiami sisi kelam yang tak terang. Terkunci oleh perasaan sendiri.
Jadi, siapa yang akan mengetuk lagi pintu itu?
Hari
itu, dua bintang terang di langit malam berseteru, merebuat yang paling benar,
yang paling tahu soal perasaan masing-masing. Vega, bintang paling terang di rasi Lyra, bintang
paling terang ke lima di langit malam, bintang paling terang kedua di belahan
langit utara. Gamma Orionis, bintang paling cerah ketiga di
rasi orion, bintang paling cerah
keduapuluhtujuh di langit malam. Jadi, cerita tentang apa ini?
“Pikiranmu
melampaui batas, Gamma,” Kata Vega.
“Aku tak
pernah punya batas, tak pernah ada batas perihal mencintai, Vega. Kamu perlu
belajar soal itu.”
“Itu
kesalahamu, Gamma. Selalu ada batas, kamu menganggapnya tak ada, karena kamu
tak mau diatur.”
“Peraturan
dibuat untuk dilanggar, kan?” Remeh Gamma.
“Itu
kesalahan besarmu, lagi Gamma. Peraturan dibuat untuk dipatuhi, peraturan dibuat
karena ada hal yang perlu diatur,” Jawab Vega.
“Well,
itu menurutmu, Vega.”
“Cuma
itu jawabanmu?”
“Apalagi
yang perlu aku jawab?” Tanya Gamma.
“Kamu
nggak jago perihal perdebatan, jangan mengangkat isu yang nggak kamu kuasai,
Gamma. Itu kesalahanmu.”
“Orion
dan Lyra beda, Vega.”
“Jangan
sombong, ada dua bintang yang lebih terang di rasimu, Gamma. Bahkan bintangmu
tak lebih terang dariku. Kamu hanya bintang paling terang keduapuluh tujuh, aku
ke lima di langit malam.”
“Tapi,
aku bintang Bellatrix—Pejuang Wanita,” Kata Gamma.
“Aku
sudah jatuh sebelum kamu perjuangkan, Gamma. Aku hanya bersinar satu miliar tahun saja,
sepersepuluh dari kala hidup Matahari. Aku dua
kali lebih masif dari Matahari dan memancarkan energi 50 kali lebih banyak.
”
“Tapi,
aku cinta kamu,” Kata Gamma.
“Jadi, soal apa ini?”
Tanya Vega.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar