Pria
berkumis tebal itu masih mondar-mandir di depanku sejak setengah jam lalu.
Stasiun ini masih belum terlalu ramai, terlihat pedagan-pedagang asongan yang
sibuk menyiapkan dagangannya, petugas-petugas kereta yang sibuk dengan
pekerjaannya masing-masing. Sudah hampir dua jam aku disini, duduk sendiri di
bangku kayu yang suaranya berdecit. “Pria dengan topi cowboy” masih aku
ingat kalimat perintah Hanief, bosku. Aku
membawa barang yang dibungkus kardus sepatu berwarna coklat yang tidak aku ketahui
apa isinya. Hanief bilang ini tugas
penting, dia bilang bahwa aku kurir terbaiknya. Dia juga memberikanku satu
tiket keberangkatan kereta api.
Bunyi roda kereta yang bergesekan
dengan rel kereta api itu sedikit mengganggu telingaku. Satu lagi, rangkaian
gerbong kereta mulai memasuki stasiun ini, terdengar suara petugas stasiun yang
mengingatkan penumpang untuk menjauhi rel.
Kereta itu berhenti di jalur satu,
tepat di depanku. Sampai kereta itu benar-benar berhenti, suara kerumunan
penumpang mulai terdengar. Penumpang
yang naik dan turun membuat keindahan jadi hilang, di ujung kerumunan aku
melihat pria yang membuatku terjaga di stasiun ini sejak dua jam tadi. Pria
dengan jas hitam, jeans dan topi cowboy cokelat, menghampiriku dengan mantap,
matanya yang besar dan tatapan yang tajam membuat kesan baik jadi hilang.
“Naiklah kereta ini, turun di stasiun berikutnya.” Kalimat itu mengiringi
perginya pria itu, hilang di balik punggung penumpang lain. Tanpa berpikir
panjang, aku langsung naik dan duduk di tempat yang dituliskan di tiket itu.
Aku
duduk gelisah di samping seorang ibu yang sedang menyusui anaknya, penumpang
lain sibuk dengan ponselnya, ada yang tidur pulas dengan mulut yang terbuka,
ada juga yang fokus membaca koran. Dua
petugas restoran kereta api sibuk menawarkan dagangannya dengan troli yang
memang biasa dipakai. Aku terus menatap keluar jendela, di balik jendela itu
debu dan asap tak ada bedanya, mengaburkan pandangan. Awan hari ini tak jelas
berbentuk, seperti garis lintang yang tidak jelas ujungnya.
“Teh hangat mas?, nasi goreng,” salah
satu petugas restoran menanyaiku.“oh enggak mas, terimakasih,”
Jawabku. “mau kemana mas?” petugas itu membalas. “Teh hangat satu mas.” Aku
sengaja tidak menjawab pertanyaannya, aku sendiri tidak tahu kenapa aku disini
dan mau kemana tujuanku.
Baru kali ini aku naik kereta untuk
menghantarkan barang, biasanya hanya dengan mobil atau montor. Kata Hanief ini
barang penting. Aku memang tidak pernah membuka barang yang aku hantar, karena
itu melanggar aturan seorang kurir. Jarak dari stasiun tempatku naik kereta ini
sampai stasiun selanjutnya tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu satu jam.
Ponselku berbunyi, dari Hanief. “Hallo bos. ” Sapaku tegas. “Masih
kau bawa barang itu?” Hanief menjawab
dengan suara yang pelan, seperti serius sekali. “Masih bos santai saja” jawabku
pelan. “Berikan kepada pria berkacamata hitam yang berdiri di depan kamar mandi
di stasiun berikutnya, dan ambil barang titipanku yang dibawanya” Hanief sudah
menutup teleponnya, sebelum aku menjawab perintahnya.
Aku sampai di stasiun yang dimaksud.
Barangnya jatuh ketika aku hendak bergegas
menuju kamar mandi di stasiun itu, barang ini cukup berat dibungkus
kertas alumunium foil. Tanpa pikir panjang aku memasukkannnya lagi di dalam
kardus.Aku hampir sampai di kamar mandi
stasiun. Benar saja, pria berkacamata
hitam itu sudah ada di depan kamar mandi. “Ini barangnya” aku memberikannya
dengan mantap. Orang itu mengeceknya lalu tersenyum dan mengangguk. “Terimakasih,
kembalilah, ini tiket kereta untuk kau pulang.” Dia memberi tiket kereta dan
amplop cokelat besar yang dilipat, aku tahu isinya. Uang jutaan rupiah, aku
merasakannya.
Di kereta kepulanganku aku memikirkan
barang yang aku bawa tadi, sepertinya aku kenal dengan barang itu. Aku
merasakan dengan tanganku, semacam bubuk. Beberapa detik setelah lamunanku.
Hanief mengirimkan satu pesan. Pesan yang bermaksud untuk memberikan arahan pada
kurir selanjutnya, kurir yang menungguku di stasiun yang membawa kardus sepatu.
Aku sudah sampai, turun bersama
penumpang-penumpang lain yang berebut keluar lebih, Aku mencari pria yang
membawa barang yang di bungkus kardus
sepatu. Aku menemukannya, pria kecil dengan rambut keriting yang duduk tidak
jauh dari pintu kereta tempatku keluar. Dia melambaikan tangannya ke arahku,
aku membalas lambainnya.
“Kamu diutus bos?” tanyaku bingung.
“Iya, ini pertama kalinya aku menjadi kurir.” Dia menjawab penuh semangat.
“Oke, Berhenti di stasiun berikutnya dan jangan coba-coba membuka barang itu.”
Aku terpaksa mengatakannya supaya anak itu tidak membukanya, dia orang awam.
Harus diberitahu.
Anak itu bergegas masuk kereta,
tatapannya ceria. Mungkin karena ini pertama kalinya dia menjadi kurir dan akan
mendapatkan uang dari hasil kerjanya sendiri. Aku pergi meninggalkan stasiun
dengan rasa bingung dan curiga, setelah ini aku harus menemui Hanief dan
meminta bayaranku.
“Sejak kapan, kau menjadi Bandar?” Aku melemparkan amplop cokelat berisi uang kearahnya.
“Apa maksudmu?”
“Barang apa tadi?” aku mendekatinya.
“Kau tidak perlu tau” Hanief membuang
muka.
“Aku perlu tahu atau mungkin besok kau
sudah ada di balik jeruji besi.”
“Jangan sok. kau tinggal lakukan apa
yang kusuruh, lalu aku memberi bayaranmu. Apa susahnya?” Tangannya mengambil
barang di laci mejanya.
“Apa yang kau lakukan?” Hanief
menodongkan pistol dengan peredam suara ke arahku, membuatku berhenti
mendekatinya.
“Jadi, sudah lama tak ada kabar dari
Rio, ini yang kau lakukan kepadanya?” tanyaku tegas.
“Aku punya banyak orang, yang siap
menghantarkan barang itu ke dia,” tangannya menarik pelatuk pistol.
“Lalu? Kau membunuh mereka semua?”
“Tidak, hanya kurir-kurir sok tau
sepertimu dan Rio” tangan kirinya melemparkan uang bayaran ke arahku.
Belum sempat aku menangkapnya, dentuman
halus dari pistol melesat ke arahku.
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar