Aku
ingat sering aku melihatnya di sebuah restoran jepang yang selalu ramai tiap
makan siang. Dia selalu membawa karung putih yang kumal, tubuhnya tidak lebih
besar dari karung yang dia bawa.
“Kamu kenapa disini?”
“Ini
rumahku kak”
“Rumahmu?”
“Iya,
sejak dua tahun lalu tempat ini jadi rumahku”
“Orang
bodoh-pun tahu kalu ini restoran jepang, jadi ini bukan rumahmu”
“Ini
rumahku”
Dia terus saja mengatakan “ini rumahku” dengan suara
yang samar-samar, sepanjang hari.
Dari matanya aku bisa melihat rasa kecewa yang begitu
mendalam, perasaan yang seharusnya tidak dirasakan olehnya.
Sampai saat ini, aku masih melihatnya duduk di depan
restoran itu. Dia, pria kecil yang berjuang sendiri mengais sampah-sampah sisa
restoran, dia menunggu.
“Aku tidak menunggu sampah, kak”
“Lalu?”
“Aku menunggu sebuah harapan, yang masih ingin aku
perjuangkan”
“Kemana ibumu?”
“Tuhan bersamanya”
“Maaf”
“Ibuku meninggal dua tahun lalu”
“Bapakmu?”
“Aku takut dia meninggalkanku dan memilih menikahi
orang lain daripada mengurusku”
“Lalu, apa yang kamu lakukan disini?”
“menunggunya datang menemuiku”
“Dimana dia sekarang?”
“Duduk nyaman di sebuah restoran jepang miliknya sendiri
yang dirintis bersama istrinya”.
("Harapan yang hilang" sebuah tulisan yang terinspirasi dari mimpiku kemarin malam)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar