"Aku selalu ngerti, paham titik dimana kamu anggap aku temen, and it’s totally okay. Tapi bahkan kamu ga tau kabarku, ga paham kondisiku, ga ngerti situasiku. Ga pernah nyediain waktu buat ketemu. Selalu aku. Dan tiap kali ada kesempatan buat ketemu, cuma aku yang dengerin kamu. Kamu ga pasang telingamu buat aku. Aku pelan-pelan jadi tahu hal-hal tentang kamu. Sedangkan kamu? Ga tau apa-apa soal aku. Dan aku ga boleh marah, kalau aku marah, kamu menjauh, kamu ga sanggup mengakomodir apa yang aku rasain. Sesuatu yang di luar kepala bisa aku lakuin buat kamu. Akhirnya setelah kamu ketemu orang baru, aku bener-bener ga kamu kenali. Pantaskah itu disebut teman? How dare you!”
“Buatku rulesnya sederhana, kalo
kamu, aku, kita, sampe harus begging, mohon-mohon, melata kayak hewan, berarti
jangan. Berlaku dalam banyak hal. Apalagi hanyak sekadar ajakan untuk bertemu. Aku
jadi ngerti, kita harus belajar menerjemahkan tanda-tanda yang ga tampak. Kode-kode
aneh yang sebenernya bisa diganti dengan penolakan yang sederhana. Bahkan kata “tidak”,
“enggak”, dan sejenisnya itu umurnya lebih tua dari kita, sudah ada sejak
penciptaan pertama.”
Kutemukan catatan itu di dua halaman
terakhir, dan catatan terakhir tak sampai hati untuk kubaca sampai akhir.
Seseorang mengekspresikan perasaannya dengan cara yang sehat, cara-cara yang
baik. Namun dianggap sepele, reaksi orang bahkan bisa kubilang udah kayak tai.
Respon-respon dan reaksi-reaksi yang membuat seorang manusia jadi pemarah
paling sunyi. Tak meledak-ledak, namun meledakkan dirinya sendiri. Dalam
diamnya, ada perkataan-perkataan ganjil dan mimpi-mimpi aneh yang tak kunjung
selesai. Yang hanya bisa ia tulis.
Setelah satu percakapan panjang, kau
akan merasakan kekosongan yang gelap, kesunyian yang pekat. Setelah satu
percakapan panjang itu, barangkali kau lahir sebagai orang baru, hidup dalam
sekat-sekat yang tegang dan mengikat. Pada akhirnya kau lahir untuk kematian
panjang. Lalu kau tersadar ada perkara-perkara ganjil tentang nasib-nasib buruk
di dalam tubuhmu, dan kau berusaha lari dari kenyataan itu—kenyataan bahwa orang-orang
menyebabkan itu semua. Orang-orang yang memulainya dengan suka cita, dan
mengakhirinya dengan cara paling aneh, cara-cara gelap. Cara-cara jahat.
Lalu aku memikirkan ulang tentang
satu hal; Kupikir sedih, kecewa, dan trauma adalah bagian dari merayakan
perasaan. Tapi bukankah perayaan hanya dilakukan sekali dalam setahun?
Sampai-sampai kita tak lagi sadar, kita dikendalikan oleh pilihan dan sebab yang ditimbulkan orang lain. Kita terperangkap dalam kesunyian yang orang
lain buat untuk kita. Kadang manusia tak menyadari cara hidup mereka yang
sembrono, (hanya mementingkan perasaan dan pikirannya) bisa menghancurkan orang
lain berkeping-keping. Saat sifat buruk yang ada dalam dirimu terekspose
seharusnya kau tak merasa nyaman atas hal itu.
Para pemarah hidup dalam kesunyian
yang tak mereka buat sendiri, mereka tak akan pernah punya kesempatan untuk
merasakan mati. Sebab diam-diam—tanpa sadar ia telah mati. Mereka mungkin akan
hidup seratus, atau seribu tahun lagi, meski dalam keadaan mati.
Untuk sebentar saja, rasakan
kesunyianmu. Apakah itu benar-benar kesunyian yang kau bentuk sendiri, atau
kesunyian yang lahir dari sebab kebusukkan orang lain?
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar