Delapan hari setelah kiamat terjadi, seorang lelaki
duduk di depan gereja dengan dasi bermotif merpati dan sepasang sepatu hitam
pemberian sang istri. Wajahnya muram seperti mendung malam atau barangkali
tembok yang kusam. Ia membawa setangkai mawar merah yang sudah tak lagi
merekah, ia berpikir bahwa dirinya telah kalah; menyendiri di antara reruntuhan
gedung lima lantai dan kedai kopi tempat ia biasa menepi. “Ini akhirnya,”
gumamnya setiap kali angin dan debu menyentuh kulit yang menghitam karena tak
lagi pernah mandi.
Sehari sebelum kiamat terjadi ia punya janji dengan
seorang misionaris yang ia temui pertama kali usai ibadah di minggu pagi. Tak
lagi ada pretensi, pikirnya saat ia melihat misionaris itu keluar dari gereja
yang mulai sepi. Ia mengikuti wanita itu sampai di depan rumah, kecanggungan
seketika melumuri tubuhnya saat wanita itu melihat dirinya. “Ada yang bisa saya
bantu?” bahkan ia ingat kalimat pertama yang keluar dari bibir misionaris itu.
Lalu ia pergi tanpa permisi dengan jantung yang berdebar kencang seperti mesin
Ferrari milik Didier Pironi, ia meninggalkan sang misionaris sendiri.
Pertanyaan lalu muncul dan merebak hingga ke ubun-ubun,
semuanya berebut minta dijawab lebih dulu, “Wanita itu anggun,” pikirnya saat
pergi dari depan rumah sang misionaris, dan menyusuri jalan yang terasa panjang
tanpa ujung. Hari-hari ia habiskan dengan menguntit, berbicara pada diri
sendiri; bagaimana cara untuk bisa bertatap muka dengannya, membicarakan banyak
hal mulai dari anjing lucu yang ia lihat menggeliat di kaki misionaris setiap
kali wanita itu meninggalkan rumah, atau tentang Tuhan yang telalu lama
terlelap sampai alpa bahwa dunia telah bergeser entah ke mana.
Ia yang seorang Budha taat duduk di dalam gereja saat
ibadah minggu pagi sesak oleh keluarga yang berharap kebaikan dunia. Ia diam
dan mendengar semua cerita dari Pastor berambut putih dengan monokel di mata
kiri. Ia mengambil Injil yang tersedia di depannya—ada kantong yang disediakan
di belakang kursi untuk menampung kitab suci. Ia membukanya perlahan sembari
menciumi bau kertas. Ia merasakan ketenangan dalam hatinya yang memerah karena
setiap kata yang keluar dari pastor itu, ketenangan yang sama saat ia beribadah
atau melakukan semedi di tengah malam.
lalu ia melihat misionaris itu, kembali jantungnya
berdebar kencang. Ia fokus menatap ke depan, sesekali melirik. Ia merasa
misionaris itu terus menatapnya sampai ibadah pagi selesai.
“Saya tahu kamu bukan seorang Kristen,” misionaris itu
berdiri di depan pintu. Mereka bersalaman, “Saya Maryam,” dari berbagai nama
yang lelaki itu pikirkan, ia sama sekali tak memikirkan nama mainstream itu.
“Ya saya tahu, nama yang mencolok, sangat mainstream,” ucap misionaris setelah
melihat senyum yang aneh dari lelaki itu. Sang Misionaris melepas jabat
tangannya, dan lelaki itu masih belum mengucapkan apa-apa. “Tunggu saya di
sana, saya akan menemuimu sepuluh menit lagi,” lelaki itu duduk di bawah pohon
yang rindang—matanya tak pernah lepas dari misionaris yang menyapa semua jemaat
sampai gereja sepi.
“Saya lebih suka disebut biarawati, bukan misionaris,”
wanita itu membuka percakapan, lalu duduk setelahnya. “Saya tahu kamu akan
menulis misionaris di ceritamu nanti.”
“Aku bahkan belum terpikiran untuk menulis pengalaman
ini.”
“You will,” biarawati itu tersenyum.
“Ada apa dengan misionaris?”
“Saya tidak suka posisi itu.”
Keduanya tertawa.
Hari-hari setelahnya Maryam dan lelaki yang bahkan
lupa mengenalkan dirinya menghabiskan waktu berdua hampir setiap hari. Maryam
hanya punya waktu pukul lima sore hingga tujuh malam, lelaki itu tak pernah
ingin membuang-buang waktu, hanya dua jam dari 24 jam dalam sehari yang ia
punya untuk bertemu Maryam. Saat ibadah minggu lelaki itu selalu datang ke
gereja—sendirian, orang-orang mempertanyakan ia dari komunitas apa. Tak ada
yang mengenalnya kecuali orang-orang gereja—Maryam dan Pastor bermonokel.
Hari-hari mereka habiskan duduk di taman kota, saling
berpandang, membicarkan hal-hal yang bukan tentang keduanya. Sesekali mereka
pergi ke museum kota, atau menikmati kopi susu di kedai yang berbeda lalu
membandingkan rasanya.
Seminggu sebelum kiamat terjadi, lelaki itu berulang
tahun yang ke empat puluh tujuh, Maryam menghadiahinya sebuah dasi bermotif
merpati. Maryam bilang merpati adalah simbol cinta, simbol pembawa pesan
perdamaian. Lelaki itu merekah saat kata-kata dari Maryam menyentuh lembut
telinganya, dan mereka berpelukan di antara malam yang dingin di bangku taman
kota.
“Aku punya istri,” lelaki itu membuka obrolan setelah
pelukan mereka yang lama.
“Saya tidak kaget,” Maryam tersenyum.
“Lalu?”
“Apa?”
“Tak biasanya seorang perempuan merasa tenang dan
baik-baik saja mendengar seorang lelaki mengaku telah memiliki istri.”
“Memangnya saya bisa apa? Saya telah memutuskan, tidak
ada yang perlu disesali. Barangkali kamu yang menyesal, menikahi seseorang yang
sama sekali tidak kamu cintai. Karena itu kamu ada di sini.”
“Bukan makasudku membohongi istriku. Aku hanya. . .”
kata-kata tertahan di atas kepala, lelaki itu berusaha keras mencari kata yang
tepat.
“Daripada memahami kompleksitas manusia, kamu memilih
menghindarinya. Padahal, kita adalah entitas tunggal yang tak akan pernah
terpecahkan.”
Obrolan mereka terhenti, sudah tepat pukul tujuh, dan
Maryam harus segera pergi.
Keesokan harinya Maryam tak terlihat di mana-mana,
lelaki itu merasa telah melakukan kesalahan yang membuat Maryam mungkin
menjauhinya. Hari-hari ia habiskan di dalam gereja, duduk lesu, memikirkan banyak
kemungkinan. Sampai dua hari sebelum kiamat terjadi ia tetap diam bahkan saat
lonceng gereja keras terdengar menggetarkan pipi dan telinga. Sampai ketika ia
bangkit untuk pulang, ia melihat Maryam berdiri di altar gereja, lelaki itu
tersenyum dan menghapus air matanya, berjalan cepat menghampiri—nyaris berlari
lalu memeluk erat Maryam yang tampak cantik dengan gaun putih tanpa lengan.
“Lima hari aku menunggumu, duduk di gereja dan
mencarimu di rumah,” lelaki itu mengelus lembut punggung Maryam.
“Lima hari saya mencari jawaban.”
“Jawaban?” lelaki itu melepas peluk, menatap Maryam
penuh tanya.
“Temui aku di sini besok, kamu akan tahu semua
jawabannya.”
Keduanya menghabiskan hari sampai lupa waktu, sudah
lewat pukul tujuh, dan Maryam hanya diam tersenyum saat lelaki itu bertanya batas
waktu yang sudah lewat, tidak seperti biasa—Maryam mengabaikannya. Maryam makin
erat menggenggam tangan lelaki itu. Malam yang dingin menyelimuti kota, Maryam
bersandar pada pundak lelaki itu, menyenandungkan sebuah lagu yang membuat
lelaki itu terpejam karena merdu senandung Maryam.
“Kamu tahu, semua akan dihapuskan setelah kita tua,
nama, usia, masa lalu, setiap kenangan bahkan masa depan. Dan kita hanya bisa
tinggal—menunggu sampai waktunya datang.”
Lelaki itu diam, dengan perasaan yang berkecamuk di
dalam.
“Semua akan ditinggalkan saat semuanya dihapuskan.
Masing-masing menjadi sendiri, bahkan waktu terdiam, ruang-ruang dibelokkan.
Saat akhir segalanya mulai muncul ke permukaan, kita dipaksa melupakan
segalanya.”
Maryam mencium pipi lelaki itu. Lalu malam
menghabiskan diri saat keduanya bercinta di bangku taman.
----