Sabtu itu gerimis masih awet sejak malam, pengunjung
pasar gempar mengetahui seorang pria ditemukan mati di tumpukan sampah tidak
jauh dari pasar. Pria itu berbalut seragam satpam dengan atribut yang lengkap.
Seorang pria dengan rompi oranye dan sebuah peluit yang terkalung di lehernya
menghubungi kepala pasar, tampaknya ia yang paling tenang di antara ibu-ibu
yang terus mengobrolkan kejadian yang mereka lihat di depan mata. Lima belas
menit kemudian polisi datang setelah kepala pasar menelpon. Garis kuning
dipasang, orang-orang semakin penasaran apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Pria itu meninggalkan seorang anak perempuan berusia
tiga belas tahun dan istri yang tengah hamil tua. Namanya Abdul, ia bekerja
shift malam di gedung DPR. Setiap pukul tujuh malam ia berangkat dari rumahnya
yang berjarak 10 kilometer menggunakan vespa peninggalan ayahnya—seorang
veteran yang baru wafat setahun lalu. Sejak kabar kematiannya anaknya terus
menangis dan tidak mau keluar dari kamarnya. Si Ibu terus mencoba menenangkan
dan terus saja gagal.
Polisi terus menyelidiki kasus ini, hipotesis mereka
mengatakan Abdul wafat akibat pukulan benda tajam di kepalanya. Sehari
sebelumnya demo besar-besaran terjadi di pusat kota, masa serba putih itu terus
bertahan hingga malam hari, membuat kerusuhan yang menyebabkan kerusakkan di
mana-mana. Sebuah mini market habis dijarah masa, mereka merusak gerbang geser
yang terbuat dari besi kuat—mendorong dan menariknya bersama-sama. Semua isi
mini market ludes bahkan kondom yang ada di rak obat-obatan.
Demo itu adalah kedua kalinya yang melibatkan lebih
dari tujuh juta masa, begitu yang disiarkan media arus utama. Ibu Kota memutih,
berita itu terdengar hingga luar dan diliput oleh media internasional. Seorang
yang dihormati dengan sorban putih berdiri di atas mimbar bersama lima
pengikutnya, ia berteriak lantang—berorasi menyuarakan supaya gubernur mundur
dari jabatannya. Demo itu buah dari pidato Pak Gubernur di salah satu daerah di
Ibu Kota.
----
Pape—begitu teman-temannya memanggil baru saja tiba di
rumahnya setelah mengantarkan para pendemo serba putih itu ke rumahnya
masing-masing menggunakan pick up hitam yang dipinjamkan oleh seorang pejabat
pemerintahan. Ia menempati sebuah rumah seorang diri dengan tiga kamar. Pape
adalah ketua komplotan bersenjata, ia adalah pembunuh bayaran yang terkenal dan
paling ditakuti. Ia adalah pembunuh bayaran dengan tarif paling tinggi, bahkan
hanya pejabat kelas atas yang mampu menyewanya.
Di kamar kedua di rumahnya, ada ponsel yang disusun
sejajar di sebuah papan besar berukuran tiga kali tiga. Ponsel itu terus
menyala dengan kabel daya yang masih menancap, totalnya lebih dari seratus
ponsel. Selain pembunuh bayaran ia juga menjalankan bisnis pesanan untuk
membuat berita palsu bagi lawan politik yang menyewanya. Ia bermain di semua
sosial media, mulai dari facebook hingga twitter. Tarifnya juga tidak
main-main, sekali posting Pape bisa mengantongi uang lima milyar rupiah.
-----
Di luar jendela Detektif Tora satu batang rokok dan
menyalakannya, lelatu tampak membakar dan asap keluar dari hidung juga
mulutnya. Sore itu langit mendung, sejak pagi dan tidak juga turun hujan, kasus
kematian Abdul tak terjawab setelah setengah tahun. Detektif Tora dipanggil
dari liburannya di Swedia, setelah mendengar semua keterangan dari petugas yang
mengurusi kasus itu, Detektif Tora menyimpulkan satu hal. Kematian Abdul tidak
disengaja. Tapi satu polisi mencoba meyakinkan bahwa kematian itu sudah
direncanakan jauh sebelumnya.
Hipotesis pertama Abdul adalah korban salah bidik oleh
para pendemo yang menganggapnya sebagai pihak pro gubernur. Hipotesis kedua
yang datang dari benak Detektif Tora sendiri adalah, Abdul tidak sengaja masuk
ke gerombolan pendemo dan dianggap sebagai penyusup yang akhirnya dihabisi.
Hipotesis ini diyakinkan sekali lagi karena setelah ditelusuri latar belakang
Abdul, tidak ditemukan sesuatu yang penting. Abdul si petugas keamanan di DPR
adalah orang biasa yang tidak mempunyai kepentingan apa pun.
Tora adalah Detektif dengan tingkat penyelesaian kasus
bintang lima. Ia tidak pernah gagal mengungkap sebuah kasus, bahkan kasus yang
dinilai paling sulit atas kematian presiden ketujuh. Dua tahun lalu Detektif
Tora memutuskan pensiun dan memutuskan pindah untuk menjalani hari tuanya di
Australia, negara yang baginya lebih tenang. Semasa hidupnya Tora tidak menikah
juga tak memiliki anak. Ia hanya menjawab ini soal prinsip pada setiap orang
yang bertanya padanya. Sejatinya ia ditinggal kekasihnya mati saat mereka sudah
akan melangsungkan pernikahan. Sejak itu Detektif Tora meyakinkan diri sudah
menikahi sang kekasih meski tubuhnya tidak ia miliki. Ia percaya jiwa
kekasihnya menyatu dengan dirinya.
-----
Pagi di tahun ajaran baru, saat semua ibu sibuk
menyiapkan peralatan sekolah anaknya. Datang seseorang ke rumah Abdul, anak dan
istrinya yang tengah sarapan dikagetkan oleh suara ketukan pintu. Istri Abdul
membuka pintu dan melihat seorang yang tinggi besar dengan jengot yang seperti
tidak pernah dicukur itu tersenyum menatapnya. Istri Abdul bertanya tentang
keperluannya, orang itu lalu menunjukkan kartu nama juga lencana kepolisian.
Istri Abdul menyilakannya untuk masuk dan duduk.
Ia menghampiri anaknya, menyuruhnya untuk cepat
menghabiskan sarapan lalu bergegas berangkat sekolah. Di ruang tamu, Istri
Abdul memperkenalkan diri, Detektif Tora mengangguk sesaat mendengar nama
Mulan. Detektif Tora tanpa basa-basi menerangkan bahwa kasus kematian Abdul
akan dibuka kembali, Mulan yang waktu itu hanya mengenakan daster terkaget,
matanya berkaca-kaca seolah bertemu malaikat penyelamat. Ia mengucapkan terima
kasih dan hampir menangis.
Anak Abdul yang sudah menghabiskan sarapan menghampiri
ibunya, ia melihat Detektif Tora dengan pandangan yang tak mampu diterjemahkan.
Detektif Tora mencoba menebak apa makna tatapan itu. Rasanya seperti tatapan
seseorang yang sudah sering bertemu dirinya. Ia menyalami ibunya juga Detektif
Tora sebelum ke luar rumah. Sorot matanya terus memandangi Detektif Tora, anak
itu berkedip pada Detektif Tora sebelum ia benar-benar hilang—berlari menuju
sekolahnya yang tidak jauh dari situ.
Detektif Tora meminta semua keterangan dari
penyelidikan sebelumnya dengan sangat detail, terus mengulangnya supaya tidak
ada yang terlewat satupun. Pertemuan itu berlangsung hampir tiga jam, Mulan
lupa untuk membawakan minuman. Ia minta izin untuk menyiapkan minuman. Di ruang
tamu itu Detektif Tora melihat deretan foto keluarga, juga foto Abdul yang
gagah mengenakan seragam keamanan DPR. Ia meletakkan bingkai foto saat melihat
Mulan membawa secangkir teh di atas nampan. Pertemuan itu berakhir, teh sudah
habis terminum.
-----
Detektif Tora berlalu meninggalkan rumah Mulan, menuju
ke ujung gang tempat mobilnya parkir. Ia mendapati anak Mulan yang tadi
menatapnya di ruang tamu, anak itu berdiri di depan mobil SUV Hitam, ia
bersandar dengan kedua tangannya yang ditarik ke belakang. Sedikit bingung,
Detektif Tora bertanya, ia sedikit membungkukkan badan untuk melihat matanya. Detektif
Tora menanyakan nama, ia mengangguk saat anak itu menjawab. Putri menguncir
rambutnya, ada lesung pipit di pipi kanannya. Ia sesenggukan berharap ayahnya
bisa kembali. Detektif Tora hanya bisa mengelus lembut ubun-ubunnya—menenangkan
Putri yang mulai menangis.
Detektif Tora memutuskan untuk menghantarkan Putri
sampai sekolahnya. Putri melambaikan tangan saat turun dari mobil, tak ada satupun
teman yang menyambut anak itu. Melihat anak-anak lain berkelompok memasuki
sekolah yang tak punya atap pada gerbang depannya. Detektif Tora terus memandangi
Putri sampai sosoknya ditelan dinding kelas. Detektif Tora merenungi kata-kata
Putri sebelum keluar. “Hati-hati, jaga diri, om,” katanya dengan nada yang
melemah.
Kemacetan masih menghiasai jalanan kota, Detektif Tora
menyalakan radio, memutar frekuensi—mendengar suara yang familiar baginya.
Suara penyiar perempuan itu renyah, ia tersenyum meyakinkan dirinya bahwa yang
ia dengar adalah suara teman lamanya. Ia mencari alamat radio itu untuk
menemuinya—radio itu tak jauh dari tempatnya sekarang. Setelah melewati lampu
merah Detektif Tora putar balik, jalanan itu lancar, tak seperti jalanan di
sampingnya. Lima belas menit kemudia ia
sampai di depan radio.
-----
Di tempatnya duduk Putri menekur. Ia duduk paling
belakang di kelasnya, seperti biasa ia tidak fokus pada pelajaran. Ia
menggambar di buku pelajaran, beberapa teman menoleh saat ibu guru menegurnya
beberapa kali. Putri tak mendengar, ia terus menggambar, ibu guru
menghampirinya—kepalanya miring melihat sesuatu yang tergambar di atas kertas
bertulisan itu. Sebuah gambar mobil yang menabrak tiang listrik.
Ibu guru bertanya maksud gambar itu, Putri hanya
tersenyum. Ibu guru menyita pensil yang dipakai Putri untuk menggambar, lalu
melanjutkan menulis di papan tulis. Putri melipat kedua tangannya di atas meja.
Tiba-tiba sebuah gambaran masuk di pikirannya, saat ia memejamkan mata gambaran
itu makin jelas dengan background hitam. Ia merasa ketakutan, semakin
memejamkan mata sampai suara kerasnya yang melengking mengisi seluruh ruangan
membuat orang-orang di sana menutup kedua telinganya termasuk ibu guru.
-----
Detektif Tora menunggu hampir satu jam sebelum yang ia
tunggu-tunggu datang. Perempuan itu sedikit menarik tubuhnya saat bersalaman
dengan Detektif Tora. Ia mencoba memutar ingatan di dalam kepala tentang
seorang pria yang berdiri di depannya. Ia baru ingat seperti menemukan lampu
bohlam kuning di pikirannya saat Detektif Tora mengingatkan perempuan itu bahwa
ia pernah mengompol di celana karena ketakutan kena marah guru PKn.
Mereka mengobrol sebentar sebelum perempuan yang punya
nama udara CJ itu menyuruhnya menunggu dan kembali ke kabin siaran untuk
menyelasikan siaran paginya. Setelah satu jam lagi menunggu, CJ menghampiri
Detektif Tora yang menghabiskan batang rokok terakhirnya di bawah pohon mangga
yang tumbuh subur di depan kantor itu. Detektif Tora menawarinya untuk mencari
kerak telor dengan maksud membuka obrolan lebih panjang lagi. CJ mengiyakannya
dengan sukacita. Tak lama setelah itu SUV Hitamnya meluncur ke pusat kota
meninggalkan kantor, CJ tersenyum, melambaikan tangan ke arah satpam.
Di dalam mobil keduanya membicarakan kenangan lama
masa-masa SMA. Sesekali Detektif Tora batuk, meraskan sesak di dadanya. CJ
menebak itu karena rokok yang baru saja
dihisap. Meski Detektif Tora meyakinkan batuknya adalah sebuah kebetulan. Tidak
seperti biasanya, karena Detektif Tora selalu menjaga kesehatannya. Masalah
rokok itu soal lain bagi Detektif Tora yang tidak bisa diselesaikan oleh ilmu
kesehatan. Justru dengan rokok ia merasa sehat. CJ hanya tertawa mendengar kata-kata
itu.
Tapi batuk itu semakin menjadi-jadi, di bangku kemudi
Detektif Tora terus berusaha menahan batuknya, CJ makin khawatir. Detektif Tora
menolak tawaran CJ yang menyuruhnya untuk pergi ke Rumah Sakit. Batuk panjang
ke luar dari tubuh Detektif Tora, sontak ia terkaget menginjak pedal gas
membuat mobil melaju kencang, saat batuknya terhenti Detektif Tora kehilangan
kesadaran, tubuhnya melemas, klakson mobil keras terdengar tertekan tubuh. Suara
teriakan CJ menggema saat mobil keras membentur tiang listik di pinggir jalan.
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar