Aku menangis di malam pertamaku
meninggalkan negeri dongeng, malam dimana aku menemukan sebuah melodi sempurna
yang kucari seumur hidup. Bahkan dengan kesempurnaanmu dan segala kekuranganku
tidak sanggup meruntuhkan batas antara keinginan dan realita bahwa kamu tetap
tinggal dan aku harus pergi.
Aku sadar bahwa hari-hari setelah ini,
tidak mudah untuk bilang rindu dan ingin bertemu. Pertemuan itu adalah hal yang
akan menghantui hari-hariku di sini. Pertemuanku denganmu; tidak akan pernah kusesali—sampai
kapan pun.
Jumat, 11 Agustus 2017, aku tidak berharap
banyak hari itu. Aku memberanikan diri untuk memulai percakapan, mengajak
bertemu karena aku tahu hati ini rindu pada sosok asing yang belum pernah kutemui.
Aku bahkan tidak mengerti apa yang kurasa.
Aku tahu seberapa kencang jantung berdetak, memikirkan segala skenario terbaik
untuk menutupi perasaan yang menggebu-gebu, memaksa agar pandanganku tidak
melulu tertuju padamu.
Recitativo adalah sebuah kata bernoda yang
terinspirasi oleh aroma kopi sore itu dan setumpuk kerinduan padamu. Dalam tulisan
ini aku ingin mengabadikan kamu, dan semua pertemuan kita; segala kata-kata, baik
yang terucap dan yang tidak terucap. Tulisan ini terinspirasi dari mata cokelatmu
dan rasa gugupku. Ia berhulu pada detak jantung yang saling beradu, dan segala
perasaan yang bercampur menjadi satu.
Aku senang akhirnya bisa bertemu denganmu.
Aku ingat, pada sebuah sore tahun lalu; aku berjanji, akan pulang musim panas
nanti. Aku tidak habis pikir, kalimat itu selalu terngiang-ngiang. Aku selalu
membayangkan, apa jadinya jika kita akhirnya bisa bertemu. Apakah satu
pertemuan mampu mengubah hal yang seharusnya kita simpan sendiri?
Hatiku hangat, bahkan hanya dengan
mengingat lekuk wajahmu, tarikan senyummu, tatapanmu, bahkan hanya dengan
caramu menyebut namaku. Aku benci saat mengingat bahwa aku tidak bisa memberi
apa-apa, harapan pun bahkan tidak. Aku tidak mengerti, sampai kapan perasaan
ini akan terus tumbuh, dan kapan aku harus berhenti. Karena bagaimana pun kamu pantas
mendapatkan hal yang lebih baik dari apa
yang aku punya.
Kamu itu layaknya mimpi, begitu sempurna,
aku tidak sanggup menyimpanmu sendirian. Di tulisan ini, aku akan membagi
seluruh perasaanku yang hampir tumpah. Jumat, 11 Agustus 2017, sampai kapan pun
aku tidak akan pernah lupa hari itu. Hari di mana penantian panjangku menemukan
ujung. Hari dimana aku akhirnya bisa menatapmu di kesunyian kedai itu.
Aku gugup, jantungku berdetak kencang, aku
takut kamu mendengarnya. Kamu sebaliknya, terlihat tenang, bahkan pada tiap
detik yang kita lalui tanpa saling cakap. Kamu bilang; kamu menikmati saat-saat
itu. Saat kita berdua tidak tahu apa yang harus kita ucapkan. Saat detik
berganti menit berlangsung dalam kesunyian.
Aku
bercerita tentang apapun yang bisa kuceritakan. Kadang, rasa bersalah
itu masih terasa berat, bagaimana aku menutup portal imajinasi yang ada di antara
kita, dan meninggalkanmu di seberang sana—sendirian. Aku berusaha menyembunyikan seluruh
perasaanku, takut kalau-kalau kamu sudah menutup hatimu untukku. Bagaimana pun,
aku harus menjaga diriku sendiri.
Aku menebak-nebak, apa yang ada dipikiranmu
saat pertama kali melihatku? Masih adakah aku dalam gema dadamu? Masihkah
debaran jantungmu tertuju padaku? Masihkah kamu menunggu? Satu tahun bukanlah
waktu yang singkat. Aku mengerti jika kamu sudah menutup pintu. Aku tersenyum
dan berusaha terlihat ceria. Terbesit di pikiranku untuk memelukmu, menumpahkan
semuanya.
Setiap aroma kopi mengingatkanku padamu. Bagaimana
kamu menyentuh lembut tanganku, bagaimana hangatnya hatiku, diselimuti dengan sejuta kenangan manis. Empat
puluh tiga hari tidak cukup untuk
memuaskan hati ini, untuk menikmati setiap debaran jantung kala bertemu
denganmu. Perasaanku tumpah, aku kalah. Aku menginginkanmu, apa yang harus aku
lakukan untuk bisa ada di sampingmu?
-----
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar