NOTE: Cerpen ini diikut-sertakan dalam Lomba Sastra & Seni UGM 2017
-----
Perkumpulan tahunan di
RT 2 digemparkan oleh kematian seekor kucing kampung berwarna cokelat.
Sebelumnya pertengkaran dahsyat terjadi di antara Si Korban dan kucing kampung
berwarna hitam milik Bu Sumi. Kucing cokelat itu bernama Selo, salah satu
kucing veteran di RT 2 milik seorang ibu rumah tangga bernama Happy. Nama yang
unik, membuat para tetangga selalu bahagia ketika memanggil Bu Happy, entah
candaan atau sindiran.
Selo mati dengan darah
terkujur di seluruh tubuhnya, darah keluar dari keempat kakinya yang terkena
cakaran Kucing Bu Sumi. Kucing Bu Sumi memang terkenal mengerikan, Selo adalah
korban ketiga, kucing hitam memang terkenal mengerikan, bagaimana tidak seluruh
tubuhnya tak terlihat di kegelapan, bahkan matanya sekalipun. Hanya Bu Sumi
yang dapat mengenali kucingnya. Kucing yang juga menjadi teman tidurnya saat
malam tiba.
Perkumpulan itu memang
biasa dilakukan dua minggu setelah lebaran. Waktu yang tepat, karena para
tetangga yang pergi mudik sudah kembali ke rumah, sehingga tak ada satu pun
yang tertinggal menghadiri acara tersebut. Selo dan Kucing Bu Sumi mulai
menjadi liar saat pembacaan doa penutup acara oleh seorang ustad yang terkenal
di RT itu. Setelah keduanya saling tatap dan menimbulkan suara erangan khas
para kucing, tiba-tiba Kucing Bu Sumi menyerang Selo—singkat dan cepat,
langsung membuat Selo tergeletak di karpet merah tempat si ustad berdiri.
Semua warga yang hadir
sontak berteriak, Si Ustad mengumpat dengan mic yang masih di depan mulut,
ibu-ibu yang menyebut nama tuhan, bapak-bapak yang santai melihat kematian Selo
sembari meminum secangkir kopi sachet pemberian salah satu warga khusus untuk
acara tersebut. Anak-anak bersembunyi di balik punggung para ibu. Darah Selo
bercampur dengan warna karpet, beberapa detik setelah respon pertama, raut muka
para warga berganti, ada semburat kesedihan di wajah mereka—RT 2 berduka.
Sebelum acara di mulai,
Selo dan Kucing Bu Sumi memang sudah bertikai di depan rumah Pak RT. Permusuhan
mereka terjadi cukup lama saat kucing Bu Sumi cemburu melihat Selo bersama
Wati. Kucing paling cantik di kampung milik istri Pak RT. Wati kucing setengah
persia dan setengah kampung berwarna putih-abu. Kucing hasil perkawinan antara
kucing lokal dan non lokal. Wajar jika banyak kucing mengincar Wati, termasuk
Selo dan Kucing Bu Sumi.
Pasca kematian Selo,
Perkumpulan Kucing RT 2 mengajukan hak angket kepada pemimpin kucing seluruh
kampung. Kucing Bu Sumi dianggap dengan sengaja dan kesadaran penuh membunuh
Selo dengan tragis dan tanpa ampun di depan para manusia yang juga mencintai
kucing. Ketua pengajuan angket kucing bernama Lori menganggap Kucing Bu Sumi
telah berbuat seenaknya dan melupakan hak kucing dan perikekucingan. Hak angket
itu berisi tuntutan hukuman gantung kepada Kucing Bu Sumi.
Sisil, pemimpin kucing
kampung telah menerima gugatan itu dari sekretarisnya. Sisil kemudian
merapatkan bersama anggota dewan kucing lainnya. Rapat itu berlangsung di tanah
lapang samping masjid kampung, tempat biasa anak-anak bermain sepak bola. Siang
itu setelah sholat dzuhur, Sisil memimpin dua belas ekor kucing, tujuh betina
dan lima jantan, mereka duduk bergerombol, saling berdebat dan menyanggah opini
kucing lain.
Salah satu anggota dewan
kucing menganggap bahwa wajar jika kucing Bu Sumi bertikai dengan Selo, karena
itu naluri batiniah seekor kucing, ada lagi yang beranggapan meskipun naluri
tapi seharusnya tak sampai menghilangkan nyawa—membuat seluruh kampung berduka
bahkan para pemilik kucing lain yang takut kalau saja kucingnya menjadi korban
selanjutnya.
Satu anggota dewan
kucing bernama Tembong, mengatakan bahwa Kucing Bu Sumi bisa dijerat Pasal 76
Undang-Undang Perkucingan, pasal itu berbunyi, “Barangsiapa yang dengan sengaja
dan kesadaran penuh menghilangkan nyawa kucing lain, harus dihukum seberat-beratnya
hukuman gantung atau menjadi kucing rumahan selama sisa umurnya.”
Tembong adalah ahli
hukum pidana kucing yang telah sangat berpengalaman mengurusi dan menyelesaikan
konflik horizontal pada sesama kucing di seluruh kampung. Tembong kucing
seorang pengacara kondang, diberi nama Tembong karena ada bercak hitam di
sebagian hidungnya. Tembong kucing yang termasuk tampan dikalangannya, dicintai
banyak kucing betina bukan hanya karena ketampanannya, juga karena kecerdasan
dan kepintarannya.
Selama hampir seminggu
Lori dan kucing lain menunggu dewan kucing atas angket yang meraka ajukan.
Namun selama hampir seminggu itu juga mereka tak mendapat kabar dan jawaban.
Seminggu setelah Selo mati, mereka mengadakan peringatan tujuh hari kematian di
samping rumah Pak RT, Wati sebagai tuan rumah menyediakan ciki wiskas, yang
diberikan Bu RT ketika merasa gemas melihat para kucing berkumpul. Selo dikubur
di samping rumah Pak RT, di sana ada tanah kosong milik Pak RT yang belum
terjual.
Di sana mereka
membicarakan kudeta jika dewan kucing tak mengabulkan permohonan hak angket
mereka. Lori berujar bahwa perbuatan Kucing Bu Sumi adalah perbuatan yang kejam
dan pantas diberi hukuman berat yang setimpal, terlebih lagi kebencian Lori
terhadap Kucing Bu Sumi telah membuncah cukup lama, saat ia mendengar bahwa
kekasihnya, dikawini oleh Kucing Bu Sumi dengan paksa di suatu maghrib di bulan
Juni.
Lori tak mendengar
rintihan dan teriakan kekasihnya itu, karena saat itu adzan berkumandang cukup
keras, terdengar hingga luar kampung. Lori sangat familiar dengan suara
kekasihnya, tapi hari itu kealpaannya membuatnya harus merasakan patah hati
sekaligus kemarahan terhebat dalam sejarah hidupnya. Kekasihnya tak lagi
perawan, bukan karenanya tapi karena kucing lain. Sungguh kisah cinta yang
menyedihkan.
Wati merasa kehilangan
atas meninggalnya Selo, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Selo adalah
kucing jantan yang ia cintai melebihi cintanya pada Bu RT—majikannya yang
membesarkan Wati dari lahir hingga kini. Ciuman pertama Wati dan Selo terjadi
saat pengajian Israj Miraj di rumah, saat itu Selo menghampirinya yang sedang
duduk melihat bintang-bintang yang indah di langit malam.
Selo mendekat dan duduk
di samping Wati, Selo sempat bercerita bahwa hal terindah dalam hidupnya adalah
bertemu dan mengenal Wati, sebagai kucing betina Wati seketika luluh, ia
menyandarkan tubuhnya pada Selo, lalu ciuman itu terjadi saat Surat Al-Fatihah dibacakan.
Wati tak pernah melupakan kenangan itu. Kenangan manis yang tak bisa ia ulang
lagi sampai kapan pun.
Lewat seminggu, Bu Sumi
masih mengurung kucingnya di kandang, katanya sebagai bentuk hukuman agar
kucingnya tak lagi berulah dan menyebabkan dirinya malu dihadapan para
tetangga. Kucingnya dikurung pada sebuah kandang ayam yang terbuat dari kayu
dan dibentuk serupa anyaman. Di atasnya ditaruh sebuah batu besar untuk
mengganjal agar kucingnya tak bisa keluar. Kekuatan Kucing Bu Sumi sangat besar,
salah satu kucing terkuat yang ada di kampung itu.
Kucing Bu Sumi memang
telah banyak berulah yang membuat kucing lainnya marah dan membenci. Tapi
kemarahan dan kebencian itu hanya dipendam, tak ada yang berani melawan Kucing
Bu Sumi yang memiliki banyak anak buah. Hanya Selo yang mempunyai sedikit
keberanian untuk melawannya, kucing malang yang kini hanya tinggal nama.
Kucing Bu Sumi memang
cukup punya nama, ia sangat dihormati. Ayahnya adalah mantan Ketua Dewan Kucing
yang mempimpin hampir sepuluh tahun, kekuatannya tak bisa dibendung oleh siapa
pun, Ayah Kucing Bu Sumi adalah diktator yang ulung. Semua gerak-gerik warga
kucing diatur dan ada hukuman berat bagi siapa saja yang melanggar aturan itu.
Tak boleh ada kucing yang buang kotoran sembarangan di depan rumah warga, di
gundukkan pasir pembangunan salah satu rumah atau buang kotoran di atap rumah
warga. Seluruh kucing hanya boleh membuang kotorannya di tempat yang sudah
disediakan para majikan.
Ada satu aturan yang
membuat kucing-kucing dewasa yang masuk musim kawin jadi ketakutan. Aturan itu
tak membolehkan setiap kucing untuk kencing sembarangan sekalipun di tembok.
Banyak dari kucing jantan dewasa yang masuk musim kawin membuang air maninya di
tembok-tembok warga, sembari terus mengejar betina yang dicintainya untuk
dikawini. Banyak keluhan dari para majikan, yang lelah terus menerus harus
membersihkan air kencing atau air mani yang sering kali menciptakan bau yang
kuat, aroma tak sedap yang mengganggu hidung.
Kini ayah Kucing Bu Sumi
sudah memasuki usia renta, masih dipelihara Bu Sumi dengan cekatan dan telaten.
Kerjaannya hanya tidur dan makan, tapi kekuatan namanya masih menggaung hingga
kini, hal itu dimanfaatkan oleh Kucing Bu Sumi untuk memudahkannya berbuat
semena-mena pada warga kucing yang lain. Ayahnya sama sekali tak mengetahui
perbuatan anaknya, tak ada satu kucing pun yang memberitahu. Bahkan Bu Sumi
sama sekali tak pernah mengeluhkan kenakalan kucingnya itu.
Setelah sekian lama
menunggu, Lori dan kucing lainnya mendengar kabar bahwa permintaannya untuk
menghukum Kucing Bu Sumi ditolak. Kabar ini membuat perkumpulan kucing RT 2
marah besar, alasan ditolaknya permintaan adalah untuk menjaga perdamaian di
antara kucing-kucing. Karena perbuatan Kucing Bu Sumi dinilai masih dalam tahap
normal sebagai naluri seekor hewan. Wati yang mencintai Selo lebih dari apapun,
mendesak perkumpulan itu untuk melakukan demo besar-besaran di depan Kantor
Dewan Kucing.
Mereka merasa keadilan
tidak ditegakkan secara nyata dan transparan. Mereka meyakini ditolaknya
permintaan mereka karena Kucing Bu Sumi adalah anak dari mantan kucing penting
yang dihormati. Kucing yang membuat kucing-kucing di kantor dewan bisa duduk
nyaman dan sejahtera. Lori setuju atas permintaan Wati. Mereka akan melawan
ketidak-adilan, mengumpulkan masa dan segera melakukan aksi seminggu setelah
kabar itu mereka terima.
Kucing Bu Sumi mendengar
kabar akan digelarnya aksi dari salah satu anak buahnya. Bu Sumi telah
melepaskan kucingnya, dan sedikit memarahi, mengancam akan mengurangi jatah
makan jika perbuatan memalukan itu diulangi lagi. Kucing Bu Sumi tak kaget
mendengar kabar dari anak buahnya, memang sejak dulu sudah banyak yang tidak
menyukainya. Anak buahnya sangat loyal, karena sama-sama berbulu hitam,
kesamaan itu membuat mereka satu suara untuk menguasai kampung.
Salah satu anak buahnya
adalah anggota Dewan Kucing, kabar itu lalu diteruskan hingga sampai ke meja
dewan. Malamnya, rapat terbatas diselenggarakan, hanya ada anggota dewan inti
saja. Aksi itu adalah serangan balik dari ditolaknya angket rakyat kucing.
Kebanyakan dari mereka mengkhawatirkan pergerakan massa yang bisa mengubah
situasi politik, kenyamanan dan keamanan kampung. Karena biasanya aksi
diselenggarakan pada dini hari, teriakan dari para kucing bisa mengganggu
manusia, imbasnya mereka bisa disiram air atau bahkan kena tendang.
Rapat itu memutuskan
satu hal, dewan akan bekerja sama dengan Kucing Bu Sumi untuk mengatasi aksi
tersebut. Kucing Bu Sumi bersedia mengambil tawaran tersebut dengan syarat;
menyediakan makanan setiap hari di luar jam makan dari majikan, dan jika
berhasil, Kucing Bu Sumi meminta untuk diangkat sebagai ketua dewan yang baru.
Kucing Bu Sumi
mengumpulkan massa lebih banyak dari yang bisa dikumpulkan Lori dan Wati.
Suntikan dana dari dewan membuatnya mudah membayar kucing-kucing liar yang tak
punya majikan dan hidup di got-got dan tempat sampah. Lori dan Wati mendengar
bahwa akan ada aksi perlawanan yang dikomandoi Kucing Bu Sumi. Massa yang
mereka bawa masih terbilang kurang untuk melawan Kucing Bu Sumi. Hari semakin
dekat, Lori dan Wati tetap menggelar aksi dengan membawa sukarelawan tambahan
dari kampung sebelah.
Pukul dua dini hari,
saat purnama tampak sedap dipandang—menguning terang. Balai RW tempat Kantor
Dewan Kucing telah dijaga oleh pasukan Kucing Bu Sumi. Lori dan Wati memimpin
pasukannya di depan, aksi berjalan damai dengan penyampaian tiga tuntutan
rakyat, salah satunya untuk menghukum mati Kucing Bu Sumi.
Tak ada satu pun anggota
dewan yang meladeni mereka. Anggota dewan telah menyerahkan semuanya kepada
Kucing Bu Sumi. Aksi yang awalnya terkendali berubah memanas saat Kucing Bu
Sumi keluar dari dalam kantor dewan dengan muka sombong, mendekat dan berdiri
di depan Lori dan Wati. Mereka saling tatap, keheningan sempat hadir beberapa
detik, suara angin terdengar lirih, sampai Kucing Bu Sumi menggoda Wati dan
meludahi Lori, baku hantam antar dua pasukan tak terhindarkan. Suara-suara
teriakan menggelegar hingga ujung kampung. Salah seorang warga yang mendengar
lalu menyiramkan satu ember air. Namun perkelahian di antara dua pasukan masih
terjadi dan terus melebar, membangunkan banyak warga.
Hingga subuh ketegangan
masih terjadi, para majikan membawa kucing-kucing mereka masuk dan
mengurungnya. Termasuk Kucing Bu Sumi, Wati, dan Lori. Kucing-kucing liar
kembali ke sarangnya. Setelahnya kampung menjadi sunyi, warga kembali tidur,
ada yang menuju ke masjid, dan ada yang bersiap untuk berangkat kerja. Bu Sumi
marah besar, di kandang yang sama, ia menyiramkan air untuk memberi hukuman
pada kucingnya yang kelewat nakal dan tak punya aturan. Ayah Kucing Bu Sumi tak
peduli, ia hanya melihat anaknya yang kedinginan dari atas sebuah kursi kayu.
Setelah kegagalannya,
Lori dan Wati pasrah, tak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Tak lama setelah
aksi itu, Kucing Bu Sumi diangkat menjadi Ketua Dewan Kucing atas jasanya
memberi kedamaian di kampung. Jelas, banyak yang tak terima. Dari kucing
veteran hingga kucing-kucing kecil yang masih disusui ibunya. Banyak yang tak
suka sepak terjang Kucing Bu Sumi yang licik dan tak punya sopan-santun.
Kepemimpinan Kucing Bu
Sumi hampir sama dengan ayahnya, diktator baru—sebutan untuk Kucing Bu Sumi
dari Lori dan Wati. Peserta aksi dari pihak Kucing Bu Sumi, mulai mendapatkan
jabatan sebagai upah membantu mendamaikan kampung. Ada yang menjadi anggota
dewan, ketua cabang, pemimpin pasukan penjaga, dan asisten pribadi Kucing Bu
Sumi.
Asisten Kucing Bu Sumi
adalah kucing persia betina berwarna putih yang cantik dan seksi. Banyak
desas-desus yang mengatakan bahwa Kucing Bu Sumi sengaja memilih kucing itu
untuk memuaskan nafsunya. Sumber yang didapat dari teman Lori, bahwa mulai
terlihat kencing atau air mani kucing di tembok kantor dewan. Terutama di
sekitar ruangan Kucing Bu Sumi. Mendengar itu Lori langsung mengabari Wati,
obrolan mereka menciptakan ide yang cemerlang.
Ada satu peraturan yang
tak boleh dilanggar, dan sudah ada sejak dulu. Peraturan untuk membuat
undang-undang yang dibuat dan disahkan oleh rakyat kucing. Jadi setiap satu
kali masa kepemimpinan, rakyat kucing boleh membuat undang-undang yang
ditujukan untuk para pejabat sebagai bentuk pengawasan mereka terhadap anggota
dewan. Ketua dari pembentukan undang-undang itu ditunjuk langsung oleh Ketua
Dewan Kucing. Ide muncul dibenak Lori, untuk membuat Kucing Bu Sumi menunjuk
Wati sebagai ketua pembentukan undang-undang. Bukan hal sulit, karena Lori
yakin Kucing Bu Sumi masih memiliki rasa kepada Wati. Wati tak keberatan dengan
permintaan Lori.
Pada suatu malam, Wati
mengeong di atas rumah Bu Sumi, dengan maksud memanggil Kucing Bu Sumi. Dan
benar saja, tak lama setelah itu, Kucing Bu Sumi naik ke atap rumah dan
menghampiri Wati. Di sana operasi misi Lori dan Wati dilakukan. Wati membiarkan
Kucing Bu Sumi menggodanya, menyetubuhinya. Rintihan Wati terdengar hingga
telinga Lori. Misi berhasil dilakukan, Lori dan Wati tinggal menunggu saat
rangkaian pembuatan undang-undang dimulai satu minggu lagi.
Wati dan Lori tak salah.
Mereka tepat sasaran. Kucing Bu Sumi memilih Wati sebagia ketua pembuat
undang-undang. Lori dipilih Wati sebagai wakilnya, mereka punya waktu dua
minggu untuk mencari anggota kongres, membuat undang-undang dan mensahkannya.
Mereka tak butuh waktu lama, anggota kongres diambil dari para relawan aksi.
Kurang dari seminggu mereka telah menyepakati dan mensahkan satu undang-undang
yang sangat elementer bagi kalangan kucing dengan suara mutlak.
Kucing Bu Sumi penasaran
atas kerja keras Wati—cinta pertamanya. Kabar menyebutkan bahwa hanya satu
undang-undang yang disahkan. Kucing Bu Sumi tersenyum mendengar itu, karena
Wati dan anggota kongres tak bernafsu untuk mengatur para pejabat yang bekerja
untuk rakyat kucing. Besoknya asisten Kucing Bu Sumi datang dengan membawa
berkas yang sudah ditanda-tangani seluruh anggota kongres dan Wati. Kucing Bu
Sumi terdiam, lidahnya kelu, rahangnya mengeras saat membaca sebuah tulisan
dengan blok tebal; “Dilarang Kencing di Tembok”.
-----