Aku bertaruh pada banyak hal,
termasuk untuk melihat waktu dan cara kematianku. Aku tak lagi takut pada
apapun, apalagi sekadar mulut bungkammu. Mulut yang dulu berisik di telingaku,
berisik yang aku tunggu, saat segala hal kau ceritakan hingga mulutmu berbusa. Ya
paling tidak aku kini tahu, mengisi kekosongan orang mungkin jadi peranku.
Kekosongan yang kemudian akan diisi
orang lain, memori lain, bisa jadi, mungkin aku hanya jadi ruang tunggumu. Aku
tak takut lagi. Kubiarkan kau menjadi antagonis sesuai yang kau ingin. Yang tak
kau sadari; segala hal buruk yang menimpamu terjadi karena ulahmu sendiri di
masa lalu.
Sarah tak memahami konsekuensinya, untuk
saat ini ia tak paham bahwa caranya mendiamkanku justru akan berbalik pada
situasi yang memberatkannya. Sarah mendiamkanku lebih dari lima bulan. Selama
itu pula suara-suara yang muncul di antara kamu selalu hanya tentang basa-basi
untuk membuat Ema dan Romy tak menyadari apa yang terjadi di antara kami. Sudah
pernah kubilang pada Sarah sebelumnya, aku tak peduli pada penolakan. Namun ia
tampaknya justru menganggap semua ini personal.
Lima bulan lewat kami terlibat pada
perang dingin, aku lebih banyak tinggal di rumah. Kami berempat kumpul hanya
saat Ema mengajakku. Mungkin Ema mengerti apa yang terjadi, namun Ema
membiarkan bagian itu tetap terkurung di dalam.
Lagipula Ema sedang mesra-mesranya. Ia
berhasil membalikkan situasi, meski aku tau Romy tetap bermain mata dengan
Sarah. Aku tak ingin ikut campur, dan mungkin kau berpikir aku bagian dari
mereka. Namun kau perlu tahu, apapun yang terjadi di antara mereka, tak ada
hubungannya denganku. Aku hanya tahu bagian akhirnya, aku tak tahu apakah keterlibatanku
akan memengaruhi bagian akhir dari cerita mereka.
Anggap saja cerita tentang
ketidak-mampuanku melihat apa yang terjadi dalam lima tahun ke depan di hidupku
adalah tanda dari kematianku sendiri. Sekali lagi aku bertaruh untuk itu,
bertaruh untuk melihat apa yang terjadi dalam tiga tahun akhirnya. Aku anggap
itu adalah waktu sisaku. Dan kupikir tak ada salahnya menerima ajakan Ema untuk
merayakan tahun baru bersama, meski aku tahu ada Sarah dan Romy juga di sana.
Di tempat yang sama satu tahun lalu.
Romy masih belum sadar, apa yang
terjadi di antara kami di coffeeshop itu tahun baru lalu. Aku tak akan
menghalangi kehadiran Romy di sana. Sudah kukatakan sebelumnya, aku tahu akhir
dari semua cerita ini. Dan karena itu, apa yang harus kutakutkan lagi? Sarah
pun pada akhirnya akan menghampiriku dan memulai lagi semuanya dari nol. Hanya
menunggu waktu.
Dan aku lelah untuk ini, mengulangi
siklus yang sama, saat semua orang sedang sibuk pada kisahnya masing-masing
yang penuh harap mereka justru datang saat kisah mereka sedang hancur lebur,
dan justru membagi kehancuran itu padaku. Tanpa melihat bahwa kemungkinan situasi
dan keadaanku sedang baik-baik saja. Lalu mereka menghancurkannya, hanya karena
mereka butuh kembali pada situasi yang tak memberatkan mereka. Ya, mereka bukan
hanya egosentris. Apa yang lebih jahat dari seseorang yang hanya memikirkan
kepentingannya sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain?
Aku kembali mengingat semuanya,
sebelum kejadian membingungkan pada tahun baru yang lalu. Melihat wajah di
depan cermin, mengutuk diri sendiri, untuk apa membuka diri pada orang-orang
yang datang hanya untuk melempar keluh-kesah, dan menguras energimu. Mereka
mentransfer energi buruk pada hidupmu yang sebenarnya sedang stabil dan
baik-baik saja. Anggap saja kita semua ini tong sampah bagi yang lainnya. Dan
kita hanya bisa menerima, karena ketika kita mengungkapkan apa yang kita
rasakan soal ini, mereka justru tidak terima, lalu kita akan merasa bersalah
karena dengan itu mereka jadi diam. Bahkan tak menganggapmu siapa-siapa.
Mereka yang mengandalkan dirimu pada
waktu terburuk dalam hidupnya, namun tak pernah mampu mendengarkanmu, tak
pernah mampu sedikit pun bertanya tentang apakah kita merasa baik-baik saja. Hidup
barangkali benar-benar tak adil, namun aku menolak pada pernyataan itu. Mereka
yang tak bisa bersikap adil pada sesama manusia. Bahwa percakapan adalah hal
paling transaksional. Dan mereka seringkali meminta gratis. Sudah seharusnya
mereka mengerti, mendengarkanmu adalah tanggung jawabnya juga, karena kau mampu
mendengarkan semua yang tumpah dari mulutnya, bahkan membantu menyelesaikan
keluh-kesahnya—membantu mereka kembali menjadi baik-baik saja.
Satu jam sebelum tahun baru. Kami
berempat berkumpul di coffeeshop yang sama. Romy dan Ema duduk bersebelahan,
Ema? Merangkul Romy—menempel bak permen karet di bawah bangku anak-anak SD. Dan
aku lihat Sarah menahan kecemburuannya. Aku bahkan tak mengerti apakah Sarah
pernah menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya satu tahun lalu pada Romy,
namun terlihat dari gesture keduanya, jelas ada yang ditutupi. Sarah
melemparkan pandangan tiap kali aku mencoba menatapnya, ia tak mau aku
membacanya, ia tahu tiap kali mata kami bertatapan itu tanda bahwa aku mampu
dan punya kapasitas untuk mengeksplore pikiran dan ruang bawah sadarnya.
Aku lebih banyak melempar topik,
karena kulihat Ema dan Romy saling bertukar kemesraan dan Sarah hanya
berputar-putar di kepalanya sendiri. Namun tiap kali kulemparkan sebuah topik,
Romy terkesan menganggapnya sebagai sebuah kompetisi. Aku tak butuh validasi
siapa yang lebih pintar di antara kami. Jelas Sarah membela Romy, bahkan mati-matian.
Aku tak ambil pusing, ia membela Romy karena kebencianku pada akhirnya. Untuk
apa menanggapi kebencian orang—buang-buang waktu, Ema justru makin terlihat clingy
setiap kali Romy mengeluarkan kata-kata perlawanan.
Makin lama, sepertinya mulai tak
terkendali. Sampai pada bahasan tentang genosida. Romy memberi contoh pada karakter
Thanos di Avengers. Dalam hatiku, kenapa refrensinya harus seputar pop culture,
seharusnya untuk menggali lebih dalam lagi, ia memberikan refrensi yang lebih
mengakar, bukan tentang sekelompok hero yang hanya ada dalam fiksi.
“Kenapa tiba-tiba bahas Genosida,
sih?” Ema mengeluh.
“Terus menurutmu kenapa ada genosida?”
tanya Sarah—terdengar dari intonasinya ia tampak tak suka pada segala ucapanku.
Kami semua tetap berdebat, tak peduli pada keluh Ema.
“Banyak dari genosida itu alasanya cuma
dua hal…” suaraku memelan, aku tahu Sarah yang emosinya sedang membuncah itu
harus kubuat tenang, “…menguasai wilayah atau sumber daya. Cuma itu.”
“Gak cuma itu,” ucap Romy, “Holocaust
gimana?”
“Iya, kecuali itu…” aku baru ingat, “Holocaust
itu bahkan katanya cuma murni kepentingan ideologis aja.”
“Kalian ngomongin apa sih?” ucap Ema.
Romy bangkit dari duduknya. Menuju
kamar mandi, tanpa mengucapkan apapun. Hanya melempar senyum pada Ema, dan
kedipan mata yang kutangkap tertuju pada Sarah.
“Nazi sejahat itu ya berarti,” kata
Ema padaku.
“Maksudnya?” tanya Sarah.
“Yaitu membunuh cuma karena mereka
yakin sama ideologi mereka.”
“Ya pembunuhan dengan alasan apapun
juga jahat, Em. Sama aja membunuh, termasuk untuk menguasai wilayah dan sumber
daya.”
“Membunuh dengan maksud melawan dan
melindungi diri?” Sarah mencecar perkataanku.
“Ya tetap membunuh.”
“Tapi buat perlidungan diri.”
“I know.”
“Kalian ini kenapa, sih?” tanya Ema—menegakkan
badannya, melihat ada yang tak beres di antara kami, “kayak ada yang gak beres.
Kelihatan canggung, kelihatan kayak mau saling bunuh.”
Kami terdiam, hanya melempar senyum
dan tawa kecil. Ema menatap kami berdua, penuh curiga . “Are u okay, guys?”
“Okay, kok. Tenang aja,” ucap Sarah
sebelum keheningan terasa begitu lama.
Romy kembali, membenarkan letak
duduknya, merapikan kaus polosan dongker. Lima menit lagi tahun baru, dan
setiap orang yang ada di coffeeshop malam ini tampak masih serius di depan
layar laptop mereka, pemandangan yang nyaris sama persis setahun yang lalu.
“Make a wish dong!” seru Ema.
“Apaan sih, Em,” ucap Sarah.
“Eh gapapa dong. Ayok make a wish.”
Romy melirik Sarah singkat. Romy juga
merasa make a wish sebenarnya tak perlu. Akan terasa canggung.
“Aku dulu deh… Semoga kita langgeng,”
Ema tersenyum manja menatap Romy. “Kamu apa?” tanya Ema pada Romy.
“Sama dong, semoga kita langgeng,”
aku tahu Romy hampir muntah dengan perkataannya sendiri.
“Sar?” tanya Romy.
“Skip!”
“Ih curang!” keluh Ema.
“Semoga semua balik seperti semula,”
ucapku. Ema dan Sarah menatapku—takut Romy bertanya apa yang kumaksud. Tampak
dari raut Romy, ia bertanya-tanya Semula seperti apa yang aku maksud. Namun
sebelum Romy sempat menanyakannya, Sarah dan Ema sudah lompat pada bahasan yang
lain.
Apakah kau pernah merasakan perubahan
suhu? Dan tiba-tiba ada angin yang mengibas rokmu, suhu yang tadinya sejuk
berubah menjadi dingin dalam beberapa detik, lalu kembali lagi seperti semula, rambut
panjangku yang sedari awal jatuh di pundak dan punggungku, untuk sepersekian
detik bergerak, dan tak ada yeng menyadari itu, Ema, Romy, dan Sarah masih asik
berbincang, aku menunggu dalam hitungan sepuluh detik tahun baru datang, dan
langit akan penuh kembang api.
Kulihat Romy melepas rangkulnya dari
Ema, ada kebingungan di wajahnya, ia kini justru melihat Sarah dengan tatapan penuh
cinta, dan Ema menatapku—mencoba mengkonfrontasi apa yang sebenarnya terjadi.
Pukul 00.01, kulihat ponselku, 1
Januari 2023. Seperti yang kuduga. Kami kembali ke timline sebenarnya. Romy
berpindah duduk di samping Sarah. Memeluk Sarah singkat, mencium telinganya
seketika. Sarah melihat Ema penuh girang—seolah peperangan telah usai. Kurang
dari semenit kemudian, Sarah dan Romy bangkit, berpamitan dan pergi sekejap—menghilang
dari pandanganku, menghilang dari coffeeshop ini.
“Lihat hapemu, Em,” ucapku, setelah
Ema terus menatapku dan bertanya-tanya.
“Serius?”
Aku hanya mengangguk.
“Balik lagi kayak dulu?”
“Dan kamu udah tahu?”
Aku tersenyum.
“Jadi sekarang Romy menganggap kita
udah putus?” Ema mencoba mencerna semuanya—perasaan bingung yang memukul
seluruh wajahnya. “Coba tatap aku, baca aku, apa yang bakal terjadi sama aku?”
Aku berusaha menatap mata Ema—sesuai permintaannya,
tak kulihat apapun di sana—tak lagi ada gambaran yang sebelumnya menyertai
setiap kali aku menatap mata seseorang. Kemampuanku hilang. Ema sekejap
mengetahui itu. Malam ini kami hanya jadi dua perempuan yang ditinggalkan.
Ema ditinggalkan oleh seluruh
usahanya dalam memperbaiki hubungan toxic yang sebelumnya terjadi, dia
ditinggalkan harapan yang sebelumnya ia bangun selama setahun dan terasa baik-baik
saja. Aku? Ditinggalkan oleh sebuah pertanyaan yang masih belum terjawab; apa
yang akan terjadi padaku setelah tahun ketiga?