“Oke,
so let’s play the game,” Seorang pria menenggak habis secangkir espresso.
“Mau
mulai darimana??” Tanya seorang wanita.
“Sebelum
pulang, kita buat taruhan.”
“Taruhan??”
Si Wanita menatap penuh curiga.
“Berani??”
“Oke…”
Kata Si Wanita dengan jawaban mengambang.
Sebelumnya,
mereka bertemu di media maya. Entah siapa yang memulai. Seperti ada kesengajaan
yang dibuat begitu rapih dan tidak terburu-buru. Ada perasaan yang mengantung
pada diri Si Pria, entah perasaan macam apa itu. Barangkali Si Wanita sama,
tapi dia berusaha menutupinya. Hal yang biasa dilakukan seorang wanita ketika
percikan timbul di hatinya.
Hujan
sore itu menghalangi mereka untuk pulang lebih cepat. Bahkan alam-pun masih
ingin melihat mereka berdua, menikmati kecanggungan yang terus mencoba diusir
paksa dalam diri, namun terus gagal. Tidak ada yang mengerti apa yang baru saja
terjadi. Keduanya menyerahkan itu semua pada perasaan masing-masing. Bertanya
satu sama lain. Memberi pesan terselubung diantara Kata. Si Pria menangkapnya
dengan mudah. Si Wanita, terus belagak bodoh, padahal dia pintar, paham,
mengerti apa pesan yang hendak disampaikan.
Dua
tiket nonton menjadi bukti dimana dua pasang mata baru saja saling tatap di
dalam kegelapan. Di dalam teater yang menyuguhkan satu film bertema perang. Ada
yang mengganggu pikiran Si Pria. Dia menganggap ini tidak benar. Tidak dalam
artian kenapa bukan mengapa. Pikiran memang mudah dimanipulasi. Hati-pun
demikian, dia bahkan lebih ekstrim—mudah dibolak-balik. Meski hanya tuhan yang
bisa melakukan hal itu.
“Starbucks??”
Si Wanita menawari.
“Starbucks
yaaa??” Si Pria tidak yakin.
“Why??”
“I’m
not sure,” Si Pria dengan nada pelan.
“Oke…
kita kesini??” Si Wanita menunjuk satu toko donat.
“Boleh,”
Si Pria tersenyum.
Cukup
bagi Si Pria untuk mengunjungi Starbucks. Tempat itu terlalu ambigu untuk
didatangi. Disana, ada perasaan yang ditinggal dan tidak ingin lagi disentuh.
Si Pria merasa perlu menghabiskan waktu dengan Si Wanita tanpa ada bayang-bayang
dari masa lalunya. Masa yang paling dihindari manusia, masa yang sebenarnya
tidak punya salah apa-apa. Manusia selalu mencari alasan pembenaran yang
melibatkan langsung masa lalunya, menghina, mencaci, menghardik. Padahal, dia
sendiri yang menciptakan masa lalunya.
Si
Pria senang, senyum di bibir Si Wanita terus mengembang. Artinya, Si Wanita
mulai nyaman, meski dia harus memaksa menahan sesuatu yang ada di dalam
dirinya. Ungkapan jujur yang hanya menunggu waktu untuk keluar atau barangkali
dipaksa keluar oleh orang lain. Wanita memang makhluk paling spesifik. Siapapun
pria yang memahami detailnya, selalu bisa membuat mereka merasa menjadi wanita
paling beruntung. Setidaknya bagi Si Pria. Karena kenyamanan selalu datang
tiba-tiba. Tidak tertebak, seperti racun sianida yang langsung mencekat,
membunuh—menghilangkan nyawa.
Hari
itu Si Pria memakai celana panjang hitam dan baju warna merah marun. Tampilan
sederhana yang sangat disukainya. Dengan topi hitam dan tote bag yang selalu
dia bawa kemanapun. Si Pria merasa tidak perlu mendeskripsikan bagaimana
tampilan Wanita pendek yang duduk di depannya, yang dipisahkan meja bundar
kecil di toko donat itu. Wanita itu sungguh menawan meski mendung di luar
sangat pekat.
“So,
gimana perasaanmu hari ini??” Tanya Si Pria.
“Not
pretty sure. Tapi, aku merasa bahagia hari ini,” Si Wanita menjawab girang.
“Aku
juga nggak cukup yakin,” Kata Si Pria.
“Kenapa??”
“Aku
yakin, yang barusan itu cuma jawaban spontan. Untuk menutupi jawaban
sebenarnya.”
“Kamu
sok tahu,” Warna merah mulai muncul di pipi Si Wanita.
“Oke…”
Si Pria terkekeh.
“Jadi
gimana filmnya tadi??” Tanya Si Wanita.
Si
Pria tidak peduli dengan filmnya. Sebelumnya, dia memang sudah menontonnya saat
penayangan hari pertama. Tapi Si Pria merahasiakannya.
Si Pria hanya butuh pertemuan. Wanita itu adalah manifesto pertemuan sempurna
yang diharapkan. Saat Si Wanita mengutarakan pandangannya tentang film itu, Si
Pria hanya tersenyum dan sedikit menanggapi. Wanita itu begitu manis, polos.
Masih terus mencoba menutupi rasa grogi yang terus saja muncul.
Si
Wanita tidak tahu, sepanjang film, berulang kali Si Pria menatapnya, melihatnya
diantara senyum dan debar jantung yang tidak terkontrol. Benar-benar tidak peduli
dengan film yang sebenarnya sangat disukai. Si Pria menatap sisi kanan mata Si
Wanita, begitu lembut, meneduhkan. Saat
Si Wanita menoleh untuk menanyakan sesuatu hal, Si Pria dengan gerak sigap
langung belagak serius menonton. Sembari menahan kecanggungan yang merajai
tubuh. Ketakutan untuk ketahuan dan dipergoki.
“Aku
suka baca blogmu, loh,” Si Wanita antusias, setelah menyeruput coffee latte.
“Serius??
Suka yang mana??”
Si
Wanita mengambil ponselnya, jarinya beradu dengan layar. Si Pria terus menatap
setiap detail Si wanita.
“Ini,”
Si Wanita menunjukkan ponselnya. Satu judul cerita yang familiar bagi Si Pria.
Cerita tentang masa lalunya, cerita tentang kemungkinan dia berhenti dalam
urusan cinta. Si Pria hanya tersenyum. Sesungguhnya dia paling tidak ingin
membahas cerita itu.
“Kenapa
diem?? Ini udah aku baca berkali-kali, loh.”
“Ohiya??
Kenapa gitu??”
“Nggak
ngerti juga sih. Berasa deket aja.”
“Deket??”
“Iya
deket, berasa kenal aja sama tokohnya.”
“Kamu
sok tahu,” Si Pria terkekeh.
Ada
jeda setelahnya. Masing-masing memainkan ponsel—mencoba mengusir canggung yang
baru saja datang tanpa permisi. Meski sebelumnya telah banyak obrolan yang
mempir di bibirnya dan di bibir Si Pria. Soal banyak hal, bahkan hal-hal yang
membuat pengujung lain terpaksa curi-curi untuk mendengarkan karena obrolan
yang menantang dan menarik. Sesekali Si Pria perlu menahan Si Wanita karena
suaranya yang mengundang perhatian banyak orang. Obrolan itu terus berlanjut sampai
pada obrolan soal perasaan.
“Kamu
tahu, kenapa hubunganmu nggak pernah lebih dari enam bulan??” Tanya Si Pria.
“Karena
nggak cocok,” Kata Si Wanita setelah meminum coffee latte.
“Bukan.
Kalo nggak cocok kamu nggak mungkin bertahan lebih dari satu bulan.”
“Terus??”
Tanya Si Wanita.
“Kamu
main-main sama perasaanmu. Kamu pacaran karena gengsi lihat temen-temenmu
pacaran, sedangkan kamu enggak.”
“Eh,
ya nggak gitu,” Si Wanita cepat membalas.
“Jangan
membela diri… Jujur, selain gengsi. Kenapa kamu pacaran??”
“Karena
nafsu!” Tegas Si Wanita menjawab.
“Salah…
Aku yakin kamu belum pernah ciuman, kan??” Si Pria menggeleng pelan.
“Kok
tanya gitu??”
“Karena
kamu masih membela diri. Jawab seadaanya, spontan. Tanpa mikir matang-matang.”
“Memangnya
wajar, orang pacaran ciuman??” Tanya Si Wanita.
“Bagiku
wajar… Oh come on, nggak ada istilah pacaran sehat. Itu semua bullshit. Mereka
di belakang diam-diam penuh dengan nafsu.”
“Itu
wajar??” Tanya Si Wanita.
“Wajar!
Aku nggak mau munafik seperti kamu. Kita perlu sadar budaya macam itu datang
dari barat. Pelan-pelan jadi bagian dari gaya hidup kita.”
“Oke…”
Kata Si Wanita, kalimatnya mengambang.
“Kamu
tahu, dalam hal ini kenapa wanita nggak lebih bahagia dari pria??”
“Kenapa??”
“Karena
soal cinta, wanita masih diperngaruhi teman-temannya. Pilihanmu pasti
terpengaruh sama temen-temenmu. Sadar atau tidak.”
Si
Wanita terdiam, sekali lagi.
“Kamu
tahu, kenapa hubunganmu nggak pernah lebih dari enam bulan??” Si Pria bertanya
sekali lagi.
“Karena
gengsi.” Kata Si Wanita.
“Karena
kamu belum pernah ciuman.”
Si
Wanita terdiam, ada yang mengganggu pikirannya. Perasaanya terus bergejolak.
Pria di depannya telah membuka matanya. Pria di depannya telah membuatnya
terpesona untuk urusan berdebat. Untuk urusan obrolan panjang yang dicari
banyak wanita. Si Wanita ingin membalas dendam, ingin memutar balik obrolan.
Dia punya cukup bahan untuk membuka siapa wanita yang masih menghuni hati Si
Pria. Saatnya untuk memutar keadaan, pikir Si Wanita.
“Aku
tahu siapa wanita itu.”
“Jangan
sok tahu,” Kata Si Pira, memainkan ponsel.
“Yaa.
Aku nebak aja sih.”
“Oke…
Aku dengerin,” Si Pria beralih menatap Si Wanita.
“Tapi
kamu harus akui kalo memang bener.”
“Kamu
cukup lihat ekspresiku aja, kira-kira gimana.”
“Ini
kan??” Si Wanita menunjukkan ponselnya. Foto seorang wanita.
“Hmm…
Bisa jadi iya, bisa juga enggak,” Si Pria tersenyum.
“Tapi
aku yakin.”
“Bagus
dong kalo yakin.”
“Jadi
bener, kan??”
“Kalo
kamu yakin, berarti kamu punya keyakinan.”
“Yeee…
Bener nggak??” Si Wanita setengah kesal.
“Menurut
kamu??”
“Menurutku
sih iya.”
“Bisa
jadi iya, bisa juga enggak,” Senyum Si Pria menatap Si wanita.
Mereka
terdiam, cukup lama. Memainkan ponsel masing-masing.
“Oke…
Aku ceritain sedikit. Tapi jangan bilang siapa-siapa. Meskipun aku tahu mulut
wanita, mulut-mulut ember. Oke??”
“Oke,”
Si Wanita mengangguk, antusias.
Belum
pernah Si Pria berani bercerita soal perasaannya pada masa lalu. Soal
perasaanya kepada seorang Wanita yang menjadi tokoh dalam cerita yang sangat
disukai Si Wanita. Bagi Si Pria, dalam lembut mata Si Wanita, ada sesuatu yang
dapat dia percaya, yang cukup meyakinkannya untuk menceritakan wanita dari masa
lalunya pada Si Wanita. Bukan tanpa sebab, Wanita yang duduk di depannya adalah
kemungkinan yang paling mungkin bagi hatinya, saat itu. Dan disaat yang sama,
Si Pria berani melepas cerita paling rahasianya itu di langit-langit toko
donat.
Setelah
lama bercerita timbul sedikit perdebatan karena Si Wanita menyarankan Si Pria untuk
Move On. Bagi Si Pria, move on adalah hal yang sia-sia. Orang-orang yang
tersakiti hatinya, perlu membuka semua kemungkinan yang ada, kemungkinan yang
datang pada dirinya. Menyerahkan dan membiarkan tuhan membolak-balikkan
perasaan juga hatinya. Karena kesalahan orang-orang yang patah hatinya adalah
ketika mereka membina kemunafikannya, merasa sakit namun tidak pernah berusaha
mencari obatnya. Tidak pernah membuka kemungkinan bagi orang-orang yang bisa
dan bersedia mengobati rasa sakitnya.
Move
on bukan soal melupakan atau mengikhlaskan. Move on adalah daya tipu, jalan
berputar yang lebih jauh. Padahal ada jalan lurus yang sangat dekat dan bisa
ditempuh dengan mudah. Mudah jika berani membuat dan membuka semua kemungkinan
yang ada. Seorang yang tidak bersedia mengingat masa lalunya sama saja buta
dengan masa kini dan bisu akan masa depan.
-----
“Jadi,
apa taruhannya??” Si Wanita bersemangat.
Si
Pria terdiam cukup lama.
“Aku
deg-degan,” Kata Si Pria, membuat tawa mereka pecah.
“Kamu
ih, jangan bikin penasaran.”
Si
Pria terdiam lagi.
“Aku
ragu mau bilang ini.”
“Kenapa
ragu??” Tanya Si Wanita.
“Ini
masalah sensitif. Aku bisa kamu benci setelah ini.”
“Ayolah…”
Si Wanita memohon.
Si
Pria terdiam. Si Wanita menatapnya begitu dalam. Penasaran akan apa yang keluar
dari bibir Si Pira setelah ini.
“Entah
kapan. Suatu saat nanti. Bibirku bisa menyentuh bibirmu,” Si Pria mengucapkannya
dengan cepat. Ada kelegaan setelahnya.
“Nggak
mungkin,” Si Wanita menggeleng dan tertawa.
“Responmu
barusan bukan untuk menutupi responmu sebenarnya, kan??” Tanya Si Pria.
Si
Wanita terdiam.
“Oke
kita taruhan… Aku bilang ini nggak mungkin,” Kata Wanita setengah tertawa.
“Aku
mungkin.”
“Deal??”
Si Wanita mengajak bersalaman.
“Deal!”
Si Pria membalasnya, mantap.
Mereka
beranjak. Saling memberi senyum, lalu berpisah. Beberapa langkah menjauh, Si
Pria berhenti, menoleh, berharap Si Wanita ikut menoleh. Beberapa detik menunggu
momen itu, Si Pria hanya melihat punggung Si Wanita hingga sosoknya ditelan
habis bangunan di sekitarnya. Si Wanita terus memikirkan tentang taruhannya di
sepanjang jalan pulang. Si Pria lega karena telah membuka satu lagi kemungkinan
yang ada.
-----